Senin, 14 Juli 2008

ULAMA DAN PENGUASA

ULAMA DAN PENGUASA*
Oleh
Muhammad Lazuardi **

Umat Islam saat ini sedang mengalami suatu fase kemunduran yang sangat parah . kondisi ini merupakan maalapetaka yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya . Pemahaman umat secara berangsur-angsur tapi pasti sedang menuju titik terendah. Kenyataan ini menjadikan umat menyimpang dalam memahami hakikat islam sebagai ideologi atau mabda’. Tingkat ketakwaan umat dan para ulamanya menjadi lemah yang ditunjukkan dengan sikap mereka yang berdiam diri terhadap fenomena yang menyimpang dari Islam. sehingga menyebabkan umat tidak berani mengambil langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikan problem-problem yang menimpa dirinya. Sikap inilah yang akan membawa kehancuran kehidupan kaum muslimin.
Pada saat yang sama, secara intelektual umat islam mengalami peracunan dari barat ( tashmim al-gharbi wa ats-tsaqofi) dalam berbagi aspek kehidupan mereka. Dalam kurun waktu yang lama, umat Islam telah memisahkan diri dan sengaja dipisahkan dari ajaran islam yang diwujudkan dalam bentuk cara hidup sekuler (fashl ad-din ’anil hayah). Akibatnya umat islam mengalami keterasingan (aleanisasi) dari ajaran agamanya, dan proses peracunan pemikiran dan budaya Barat semakin gencar berlangsung melalui berbagai macam sarana media cetak dan laayar kaaca seiring dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan teknologi. kondisi ini semakin dipersulit dengan kemampuan para ulama Islam dan para cendekiawannya untuk melakukan counter dan dialog yang seimbang terhadap setiap pemikiran barat yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam seperti ide demokrasi, kedaulatan ditangan rakyat (soverignity), HAM, pluralisme, civil socciety, nasionalisme, sosialisme dll. Lebih parah lagi, sebagian ulama yang menjadi panutan umat tergelincir dalam proses pembenaran terhadap berbagai konsepsi barat tersebut dan menganggapnya merupakan bagian dari Islam. Kemandulan intelektual ini sangat jelas merupakan akibat dari kemunduran pemikiran dan politik umat. Yang ujung-ujungnya akan berimbas pada tidak jelasnya sistem dan aturan yang digunakan untuk mengatur kehidupan mereka. Dimana realitas semacam ini nampak pada sistem pemerintah di Dunia Islam yang ditegakkan di atas asas demokrasi dan sistem ekonomi yang kapitalistik yang sangat bergantung kepada “kemurahan” Barat kepada negeri-negeri kaum muslimin.

Siapakah Ulama ?
Secara bahasa, ulama itu merupakan jamak dari dari kata alim yang berati orang berilmu. Syekh Abdul Aziz Al-Badri menambahkan, para ulama adalah ni’mat Allah untuk penghuni bumi, tanpa ulama manusia akan terjerumus dalam jurang kebodohan. Mereka adalah hujjah Allah di muka bumi ( Al-Islam bayna Al-Ulama’ wa Al-Hukam, hal 61-62).
Secara syar’i, Allah SWT dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai sifat dari ulama diatas, diantaranya adalah:
Pertama, Ulama adalah orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keterikatannya terhadap wahyu Allah SWT. Rasullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaan Ulama dimuka bumi laksana bintang-bintang yang ada dilangit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR. Ahmad). Dalam hadis yang lain Beliau SAW bersabda: “ Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan diantara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Seorang ulama rabbani tidak akan menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Misalkan, ia tidak akan menghalalkan darah sesama muslim hanya karena berbeda pendapat atau menuduhnya dan memberikan gelar yang buruk hanya karena tidak sesuai denga pendapat kelompoknya. Sebab, rasulullah SAW bersabda:
“ Mencaci maki seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah perbuatan kufur” (HR. Muslim).
Begitu pula seorang yang benar-benar ulama tidak akan menghalalkan sesuatu yang haram dengan alasan kemaslahatan seperti supaya investor tidak lari ke luar negeri. Dalam kaidah ushul yang digali dari berbagai nash disebutkan : “Dimana ada hukum syara di situ ada kemaslahatan”, bukan sebaliknya ( M. Muhammad Ismail, Al-Fikrul Al-Islam, hal. 24).
Imam Nawawi Al-Bantani menjelaskan kriteria Ulama. Menurut beliau ulama adalah hamba Allah yang beriman, mengasai ilmu syariat secara mendalam, dan memiliki peabdian yang tinggi semata-semata karena mencari keridlaan Allah SWT, bukan keridlaan manusia. Dan kemudian dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq, baik dalam masalah ibadat maupun muamalat. Beberapa ciri-ciri ulama menurutnya a.l:
(a) Memiliki keimanan yang kokoh, ketaqwaan yang tinggi, berjiwa istiqomah dan konsisten terhadap kebenaran
(b) Memiliki sifat-sifat kerasulan, yaitu jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fatanah), dan menyampaikan (tabligh)
(c) Faqih fi ad-Din sampai rasikhun fi al-Ilm’
(d) Mengenal situasi dan kondisi masyarkat
(e) Mengapdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT.
Kedua,Ulama itu berjuang di jalan Allah SWT serta senatiasa memberikan nasihat kepada para penguasa takkala mereka menyimpang dari Islam, sebagaimana sabda nabi SAW : “ Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiyat terhadap allah SWT”( HR. Muslim). Mereka tabah dan sabar menghadapi segala macam tantangan dan halangan, demi memperjuangkan Islam dan Umatnya. Bukan membela kepentingan pribadi, pimpinan, atau kelompoknya. Mereka senantiasa ingat akan sabda Rasullah SAW: “Barangsiapa melihat penguasa yang yang dzalim dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT, melanggar janjinya dengan Allah SWT dan menyalahi sunnah Rasul-Nya, berbuat kejam dan aniaya terhadap hamba-hamba Allah dengan sewenang-wenang, dan orang itu tidak mencegahnya baik dengan tangan ataupun lisan, maka patutlah bagi orang itu menempati tempat yang telah disediakan oleh Allah SWT baginya.” (HR. Thabrani).
Ketiga, Ulama selalu menegakkan kewajiban dan mencegah kemungkaran. mereka tidak menyembunyikan apalagi memutarbalikkan syariat Islam. Mereka menyakini akan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah datang dari kami berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam Al-Qur’an, mereka dilaknat pula oleh semua makhluk yang dapat melaknat” (QS. Al-Baqarah [2] : 159).
Keempat,Ulama itu bener-benar takut kepada Allah SWT; dalam hati, ucapan dan perbuatannya berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT :
‘Sessungguhnya mereka yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS. Al-Fathir [35] :28)
Dengan demikian seseorang dikatakan ulama tidaklah dilihat dari wajahnya, pakaiannya, gelarnya, julukannya, ataupun keturunannya, melainkan dari ilmu dan karakter-karakter tadi. Boleh jadi seseorang disebut ulama, tetapi, disisi Allah SWT bukanlah ulama.
Kelima, Tidak menjadikan perbedaan dalam masalah furu’ (cabang), sebagai sumber konflik. Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurtubi ketika menjelaskan firman Allah SWT :
“ Dan ingatkan ketika Kami memberikan kepada kalian ni’mat persaudaraan, dan melembutkan hati kalian” . Beliau menyatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan keharaman untuk perbedaan dalam masalah hukum-hukum cabang. Dengan cacatan pendapat-pendapat tersebut memiliki landasan dari Al-qur’an dan hadis yang shahih. Kita bisa melihat bagaimana perilaku para salafus shaleh dalam menyikapi perbedaan yang terjadi diantara mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berikut : “ Kaum Muslimin sepakat mengenai kebolehan sholat sebagian mereka dibelakang yang lainnya. Adalah para Shahabat dan Tabi’in dan generasi sesudah mereka dari Imam yang empat , Sholat sebagian dibelakang sebagian yang lainnya. Barang siapa mengingkari hal ini maka dia adalah pelaku bid’ah yang sesat karena menyelisihi Al-Qur’an dan As-sunnah dan Ijma’ kaum muslimim. Para Shahabat dan Tabi’in, sebagian diantara mereka membaca bismillah dan sebagian yang lain tidak membacanya, walaupun demikiam sebagian diantara mereka tetap sholat dibelakang yang lainnya. Misalnya Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dan Imam Syafi’i dan selainnya sholat dibelakang imam-imam di Madinah dari Ulama Malikiyah dan mereka tidak membaca bismilah baik dipelankan (sirr) maupun dikeraskan (jahr). Abu Yusuf sholat dibelakang Imam Al-Rasyid yang sedang berbekam. DAn Imam Ahmad memandang keharusan orang yang berbekam untuk wudlu’, kemudian ada seseorang yang bertanya kepadanya: Bagaimana dengan seorang imam sholat yang darinya mengeluarkan darah (sedang berbekam) dan belum berwudlu’, Apakah kita boleh sholat dibelakang mereka ? Imam ahmad menjawab:” Apa yang menghalangimu untuk sholat dibelakang Sa’id Ibn Musayyab dan Imam Malik ?” (al-Manfur, Fawakihul Adidah, juz 2 hal.171). Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ikhtilaf fiqhiyah harus disikapi dengan akhlakul karimah dan ilmu. Bukan dengan kebencian dan permusuhan yang dilarang dalam Islam (Dr. Thoha Jabir Al-Ulwani, Adab Al-Ikhtilaf).

Tidak Berpihak Kepada Kedzaliman
Salah satu Ulama hamba Allah SWT, terlebih-lebih ulama, adalah tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Tegas sekali firman Allah SWt dalam ayat berikut:
“Dan janganlah kalian cenderung (la Tarkanuu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka...” (QS. Hud [11] : 113)
Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata la tarkanu berarti ‘jangan cenderung kepadanya’; Qatadah menyebutkan, ‘jangan bermesraan dan jangan mentaatinya’; sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti ‘jangan meridlai perbuatan-perbuatannya’.
Larangan cenderung tersebut ditujukan pada orang-orang mukmin agar tidak berpihak kepada orang-orang yang melakukan tindak kedzaliman. Allah SWT melarang cenderung kepada mereka karena dalam keberpihakan tersebutn terkandung pengakuan terhadap kekufuran, kedzaliman, dan kekasikan mereka. Pengakuan ini dipandang sebagai peran serta dalam dosa dan siksa.
Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf Juz II/416 mengutip beberapa pendapat berkaitan dengan hal ini. Dinyatakan bahwa Imam Ats-Tsauri berkata : “Di nereaka jahanam nanti ada suatu lembah yang tidak dihuni orang kecuali para pembaca al-Qur’an yang suka berkunjungkepada para penguasa”.Senada dengan hal ini, Imam Auza’i mengatakan, “Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada para penguasa.” Bahkan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasullullah SAW bersabda : “ Siapa yang berdo’a untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya”.
Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa Imam Zuhri bergaul dengan para penguasa yang terkenal tidak memenuhi hak-hak masyarakat serta tidak meninggalkan kebatilan. Terdapat seseorang yang mengiriminya suratnasihat agar menjauhi fitnah. Dalam surat itu antara lain dia menyebut tindakan bergaul rapat dengan penguasa akan menimbulkan konsekuensi berupa dijadikannya perkara tersebut sebagai legitimasi beredarnya kebatilan yang mereka lakukan, pengakuan atas bencana yang mereka lakukan, dan pembenaran atas penyimpangan mereka. Juga akan menimbulkan keraguan para ulama serta akan diikuti masyarakat umum. Orang itu lantas menutup suratnya dengan kalimat “ Betapa banyak keuntungan yang mereka ambil dari anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada anda”.
Sementara itu, kedzaliman penguasa muslim itu ditunjukkan oleh perbuatannya yang tidak menerapkan aturan Islam. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT mewahyukan :” Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim (QS. Al-Maidah [5] : 45).
Ayat diatas ditujukan kepada manusia secara umum, termasuk juga kepada umat Islam. Seorang penguasa Islam yang tidak memerintah dengan apa-apa yang diturunkan allah SWT, yakni tidak menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh atau menerapakn sebagian dan meninggalkan sebagian lain., disebut oleh Allah SWT dalam ayat diatas sebagi orang yang berbuat kedzaliman apabila masih menyakini kelayakan Islam untuk diterapkan (Taqiyyuddin An-Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 228).
Berdasarkan hal ini, seorang mukmin –terlebih-lebih lagi ulama- tidak akan mendukung kedzliman tersebut. Sebab, merka takut kepada Allah SWT yang kan membakarkan api neraka pada orang yang berbuat demikian seperti firmannya dalam surat Hud [11] ayat 113 tadi.
Para Ulama Salafus Shaleh senantiasa berada digaris depan menentang setiap kedzliman yang dilakukan para penguasanya. Tatkala Khalifah Muawiyah memulai pidato pada suatu hari, Abu Muslim Al-Khaulani berdiri dan mengatakan tidak mau mendengar dan mentaati Khlifah. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab , “Karena engkau Khalifah telah berani memutuskan bantuan kepada kaum muslimin. Padahal harta itu bukan hasil keringatmu dan bukan harta ayah-ibumu.”. Mendengar itu Muawiyyah sangat marah, lalu turun mimbar, pergi, dan sejenak kembali dengan wajah yang basah. Ia membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilahkan siapa saja yang merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari baitul mal (Al-Badri, Peran Ulama dan Penguasa, hal. 101). Begitu pula kisah Abu Hanifah yang menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja’far Al-Manshur dan menolak uang 10.000 ribu dirham yang akan diberiakan kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang: “Apa yang anda berikan kepada keluarga anada, padahal anda telah berkeluarga.” Beliau menjawab :”Keluargaku kuserahkan kepada Allah dan sebulan aku hanya cukup hidup dengan 2 dirham saja” ( M. Isa Selamat, 1001 Duka, Himpunan Kisah yang Menyayat hati ; Adz-dzahabi Siyarul Alam Al-Nubala juz 6).

Ulama dan Politik
Kuatnya proses depolitisasi dan deislamisasi yang terjadi selama ini mengakibatkan kesenjangan antara para ulama dan aktivitas politik. Tidak sedikit kaum muslimin yang beranggapan bahwa politik identik dengan kekuasaan sehingga politik adalah sesuatu yang kotor dan najis yang harus ditinggalkan dan dijauhi . Pandangan ini tentu tidak benar dan harus segera diluruskan. Bagi kaum muslimin termasuk diantaranya para ulamanya terlibat dengan aktivitas politik adalah sesuatu yang wajar, bahkan dapat menjadi sebuah keharusan. Alasannya, politil /siyasah dalam ajaran Islam dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah strategis dalam kerangka untuk memelihara urusan umat (ri’ayah syu’un al-ummah). Pelaksana praktis aktivitas politik adalah daulah (negara), sedang umat melakukan muhasabah (kritik, saran dan nasihat) kepada penguasa (khalifah).
Politik secara bahasa, berasal dari akar kata sasa-yasusu-siyasatan. Maknanya adalah mengurus kepentingan seseorang. dalam kamus al-Muhith dinyatakan, “Sustu ar-ra’iyyata siyasatan (Saya memerintah rakyat dan melarangnya).
Definisi diatas diambil dari hadis-hadis Rasullah yang menunjukkan aktifitas penguasa, kewajiban untuk melakukan koreksi (muhasabah), dan pentingnya mnengurus berbagi kepentingan kaum muslimin. Rasul SAW sebagaimana dituturkan oleh Ma’qil ibn Yasar, bersabda:
“Seseorang yang ditetapkan allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, sementara dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), maka dia tidak akan mencium bau surga. (HR. Bukhari).
Dalam hadis yang lain Rasul SAw bersabda : “Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati, sedangkan ia menipu umat, maka Allah SWT akan mengharamkan baginya masuk kedalam surganya”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ummu Salamah menyatakan bahwa rasul SAW juga pernah bersabda :
“Akan terdapat para penguasa, lalu kalian (ada yang) mengakuinya dan (ada yang) mengingkarinya), siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan denga hukum syariat), maka dia tidak akan dimintai tanggung jawabnya; siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridla (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum syariat) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka menegakkan sholat (hukum-hukum Islam) (HR. Muslim).

Khudzidfah r.a juga menuturkan bahwa Rasul SAW pernah bersabda:
“Siapa saja yang bangun pagi hari, sementara perhatiannya tertuju kepada yang selain Allah. Siapa saja yng bangun pada pagi hari dan tidak memperhatikan urursan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka” (HR. Al-Hakim dan Khatib).
Hadis-hadis diatas berkenaan denga para penguasa dan kedudukannya, pengoreksian umat terhadap para penguasanya, serta hubungan antar kaum muslimim dalam mengurus urusan mereka dan untuk saling menasehati diantara mereka. Semua itu menunjukkan makna politik yang sesungguhnya, yaitu mengurus kepentingan umat. Definisi politik semacam ini merupakan definisi syar’i (digali dari dalil-dalil syara’). Walhasil, politik (siyasah) dalam Islam adalah bermakna mengatur berbagai urusan umat, baik di dalam negari maupun di luar negeri (riayyah as-su’unil ummah dakhilan wa khrijiyan bi hukmi muayyanin) ( Abdul Qadim Zalum, At-Ta’rif ).

ULAMA MEMBANGUN KEKUATAN POLITIK UMAT
Aktivitas politik disini tentu saja dilaksanakan oleh negara. Negara adalah institusi yang melaksanakan aktifitas politik secara praktis. Artinya, secara internal, negara dalam Islam (khilafah) berfungsi untuk melaksanakan seluruh hukum-hukum Islam dalam seluruh wilayah kekuasaannya. Negara menerapkan aturan yang mengatur interaksi antar individu (muamalat), melaksanakan hukum pidana (hudud), memelihara akhlak dan etika, menjamin pelaksanaan ibadat, dan mengatur berbagai urusan rakyat sesuai dengan ketentuan syariat. Sementara secara eksternal, negara dalam Islam mengatur berbagai urusan politik luar negeri, umat dan bangsa lain; sekaligus mendakwahkan Islam keseluruh penjuru dunia.
Pada sisi lain, aktifitas politik juga dilakukan oleh umat dan dipimpin oleh para ulama. Dengan cara mengoreksi (mengawasi) penguasa dan para aparatnya agar tidak menyimpang dalam pengurusan kemaslahatan umat dan penerapan syariat Islam. Muhasabah umat kepada para pengussanya adalah wajib dan mentaatinya selama tidak menyimpang dari Islam juga wajib. Allah SWT memerintahakan dengan tegas untuk mengganti para penguasa yang menyimpang dan merampas hak-hak rakyat, mengabaikan tugas-tugasnya, melalaikan kepentingan umat, dan penguasa melanggar syariat Islam atau penguasa memberlakukan hukum selain hukum Islam.
Beberapa langkah strategis yang harus dilakukan para ulama dalam rangka membangkitkan umat diantaranya adalah :
(1) Membangun kesadaran politik umat (wa’yu siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana mereka memelihara urusannya. Untuk itu para ulama harus mampu menyakinkan umat bahwa solusi dari semua permasalahan mereka yang super kompleks adalah dengan mengambil dan menerapkan ide/konsepsi yang bersumber dari aqidah yang mereka yakini yaitu aqidah Islam.
(2) Menggalakkan kajian aqidah yang shahih dan kajian-kajian fikih yang lebih luas, yakni tidak hanya terbatas pada kajian yang membahas masalah bersuci, sholat, zakat, puasa dan haji semata, tetapi juga kajian-kajian fikih yang menjelaskan kenegaraan, perundang-undangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan internasional,politik, ekonomi, sosial, jihad, serta masalah pendidikan dengan merujuk kepada kitab-kitab fikih mu’tabarah (valid). Sehingga semakin jelaslah konsep kehidupan dibawah naungan daulah khilafah bagi umat dan mereka tidak punya alasan lain kecuali memperjuangkannya dan berusaha merealisasikannya (An-Nabhani, Asy-Syaksiyah Islamiyah, juz II/7).
(3) Selain mengkaji kitab-kitab fikih klasik, para ulama hendaknya selalu berusaha mengkaitkan kajiannya dengan berbagai permasalahan aktual, dalam rangka menjelaskan pandangan Islam terhadap berbagi persoalan yang sedang berkembang. sehingga kaum muslimin tidak mudah terkecoh dengan ide dan pemikiran yang menyimpang dari Barat seperti demokrasi, kebebasan, HAM dll.
Selanjutnya para Ulama menentukan target apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki masyarakat. Untuk itu, ada dua hal mendasar yang harus dipahami:
(a) Persoalan utama umat yang mengakibatkan krisis multidimensional adalah karena aturan Islam tidak diterapkan secara menyeluruh untuk mengatur kehidupan masyarakat
(b) Cara pemecahan untuk persoalan ini adalah dengan melangsungkan kembali kehidupan yang Islami (Istina’f al-hayah al-Islamiyah), dalam arti menerapakan seluruh aturan dan hukum Islam yang terpancar dari aqidah yang diperoleh dari sebuah proses berpikir yang shohih.
(c) Tidak terjebak dalam konflik yang hanya akan mengalihkan umat dari persoalan utama mereka yaitu pelaksanaan hukum-hukum Allah dan memperkuat jalinan kasih sayang diantara mereka dengan merajut tali akhuwah yang telah lama terkoyak dan hialang dari diri umat.
Berikutnya harus melakukan perang pemikiran dengan semua aqidah dan aturan yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah untuk mengubah opini ditengah tengah umat dari yang tidak Islami menjadi Islami. Masyarakat harus dididik tentang kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap Islam. Masyarakat harus menerapkan Islam dalam kehidupannya sebagai konsekuensi logis dari aqidahnya. Dorongan keimananlah yang pertamakali harus dibangkitkan dalam diri umat samapai mereka sadar dan menuntut penerapan Islam dalam kehidupan mereka. Disamping itu, ditengah-tengah umat harus dibentuk opini umum dan kesadarn untuk menolak semua konsepsi dan pemikiran yang bertentangan dengan Islam seperti ideologi kapitalsisme, sosialisme, komunisme, pluralisme, HAM dll. Dan pada saat yang bersamaan menjelaskan solusi konkrit untuk menggantikan semua konsep yang menyimpang itu. Dan perubahan pemikiran masyrakat dan penolakan terhadap semua yang diluar Islam merupakan kunci utama penerimaan dan sekaligus dukungan umat terhadap adpa yang dilakukan oleh para ulamanya. Walhasil, proses penyadaran umat merupakan aspek penting dalam perjuangan para ulama.

KHATIMAH
Rasullah SAW bersabda :
“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi, apabila keduanya rusak maka akan rusaklah masyrakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan penguasa” (HR. Abu Nu’im).
Dalam hadis diatas Rasul SAW memberitahu kepada umatnya bahwa penguasa itu ada yang baik dan ada yang buruk. Begitu pula ulama itu ada yang baik dan ada pula yang buruk. Lebih tegas lagi Nabi SAW menyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
“Akan datang penguasa-penguasa fasik dan dzalim. Barang siapa percaya kepada kebohongannya dan membantu kedzlimannya, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya dan dia tidak akan masuk surga”.
Berkaitan dengan ini Imam Ghozali (Ihya ‘Ulumuddin, juz 7, hal. 92) menyatakan :
“ Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataanya membekas dihati. Namun, sekarang terdapat penguasa yang dzalim namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasialan. Kerusakan masyrakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan para penguasa dan para pembesar”.
Berdasarkan uraian diatas tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin untuk kembali kepada Islam dengan dipimpin oleh para ulama rabbani. Kebenaran Islam darimanapun datangnya harus diterima dan kebatilan yang dikukan oleh siapapun harus ditentang. Wallahu A’lam bi Showab.

SURAT TERBUKA KEPADA KELOMPOK SALAFI

SURAT TERBUKA KEPADA KELOMPOK SALAFI
Oleh
Muhammad Lazuardi Al-jawi


Kami sering mendengar akhir-akhir ini ada sekelompok orang yang dalam pengajian-pengajian dan majalahnya mengungkit-ungkit masalah hadis ahad dengan pembahasan yang tidak semestinya. Kemudian mereka menambah permasalan dengan melontarkan berbagai shubhat yang sayangnya hal ini disampaikan kepada orang awam yang tidak mengerti duduk permasalahan yang sebenarnya. Hal ini diperparah dengan ajakan mereka untuk memusuhi semua orang atau kelompok yang berbeda pendapat dengan mereka (karena tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah –pent) dan ajakan ini dibumbui dengan stempel sebagai kelompok sesat dan bid’ah bagi semua kelompok yang menolak hadis ahad sebagai dalil aqidah. Untuk itu kami merasa perlu untuk menjawab tuduhan-tuduhan itu agar masalah ini tidak berkembang menjadi perselisihan yang tidak sehat. Berikut ini beberapa shubhat yang mereka lontarkan beserta bantahannya :
Thohawi dapat dipastikan menerima hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah ?
1- Shubhat Pertama : Mereka mengklaim berdasarkan Kitab Aqidah Thohawiyah, bahwa Adzab kubur adalah bagian dari aqidah sehingga Imam
Kami menjawab : Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi (w. 321 H) adalah Ulama yang bermahdzab Hanafiyah, sehingga Imam Ath-Thohawi pasti memegang prinsip tentang hadis ahad sesuai dengan pendapat Imamnya yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad Ibn Hasan Al-Syaibani dan Imam Abu Yusuf. Hal dipertegas dengan penjelasan DR. Sua’ib Al-Arnauth dalam tahqiq-nya pada kitab Syarh Musykil Al-Atsar, mengenai perpindahan Imam Ath-Thohawi dari Mahdzab Syafi’I ke Mahdzab Abu Hanifah (Lihat Syarh Musykil Al-Atsar oleh Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi jilid 1\hal. 29-30). Dimana mereka (yaitu para Ulama yang bermahdzab Hanafiyah) menganggap hadis ahad tidak menghasilkan kepastian\qoth’I tetapi hanya menghasilkan dugaan keras\dzon rajih (lihat kembali pendapat para Ulama Hanafiyah –pent). Ini adalah pendapat dari mayoritas Ulama Hanafiyah seperti Imam Issa ibn Aban (w. 220 H), Imam Ali ibn Musa al – Qummi (w. 305 H), Imam At-Thobari (w. 310 H), Imam Al-Karabasi Al-Najafi (W. 322 H), Imam Abdul Qohir Al-Baghdadi (w. abad 5 H), Imam Ibn Athir Al-Jazari (w. 606) dalam (Al-Nihayah fi Gharib Al-Hadis), Imam Al-Izz Ibn Abd Al-Salam (w. 660 H), Imam Ala Al-Din Ibn Abidin (w. 1306 H), Imam Al-Sarkhasi (w. 483) dalam (Al-Usul Al-Sarkhasi juz 1\hal. 112, 321-333). Sedang menurut mayoritas Ulama Ahli hadis, hadis ahad dibagi menjadi beberapa tingkat yaitu:
A\-Ahad Mashur : Hadis yang diriwayatkan oleh 3 orang perawi atau lebih, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.
B\-Ahad Aziz : Hadis yang diriwayatkan oleh 2 orang dari 2 orang dalam seluruh Thobaqot sanad.
C\-Ahad Gharib : Hadis yang bersendirian saja seorang perawi dalam meriwayatkan hadis (Lihat Kitab Taisir Mustholah Al-Hadis hal. 22-25 Oleh DR. Mahmud Ath-Thohan) (Lihat juga makalah kami yang berjudul “Sekali Lagi tentang Hadis Ahad” –pent).

2- Shubhat Kedua : Mereka menyatakan bahwa pembagian hadis Mutawatir-Ahad dilakukan oleh para ulama ahli kalam, sehingga kita tidak perlu mendengar pendapat para ulama tentang hadis ahad, karena bagi mereka yang ada hanya hadis shohih dan dho’if ?
Kami menjawab :
a- pertanyaan ini datang dari mereka yang kurang memahami sejarah perkembangan Ilmu Hadis. Dan lagi pertanyaan seperti ini tidak harus dijawab karena tidak akan menghasilkan apa-apa, sebab jumhur ulama baik ahli kalam atau tidak; ahli hadis atau ahli fiqh telah sepakat menerima pembagian hadis menjadi Mutawatir-ahad berdasarkan jumlah perawinya. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Dr. Muhammad Wafa’ bahwa “mayoritas ulama telah sepakat dengan pembagian hadis Rasul SAW menjadi Muatawatir-Ahad. Namun ulama Hanafiyah menambah satu pembagian lagi yakni Hadis Masyhur” (Lihat kitab Ta’arudh Al-Adilati As-Syar’iyahi min Al-Kitabi Wa As-Sunnahi Wa At-Tarjihu bainaha, hal. 70; juga lihat kitab yang lain seperti Al-Mustashfa, juz 1\hal. 145; Syarh Al-Asnawi juz 2\hal. 214; Irsyad Al-Fuhul hal. 46; Hasyiyat Al-Athar ala Syarh Al-Mahalli juz 2\hal. 146; juga lihat pendapat para Ulama Hanafiyah dalam At-Talwih ala At-Taudhih juz2\hal. 302; At-Taqrir wa At-Tahbir juz 2\hal. 235-236; Kasyf Al-Asrar an ushul Al-Bazdawi juz 2\hal. 360; juga lihat referensi baru seperti Ushul Al-Fiqh Al-Islami, Dr. Wahbah Zuhaili juz. 1\hal. 451; Ushul Al-Fiqh, Syeikh Al-Khudhari , hal. 214-215; Ushul Al-Fiqh, Syeikh Muhammad Abu Zahra, hal. 83-84; Ushul Al-Fiqh, Syeikh Musthafa Syalbi, hal. 139)
b- Tentang tuduhan mereka bahwa pembagian ini adalah hasil rekayasa Ahli Kalam, Kami bertanya apakah Para Ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Bukhori, Imam Muslim, Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani, Al-Hafidz Jalaludin As-Suyuti, Al-Hafidz Ibn Sholah, Imam Nawawi, Imam Ibn Abdil Bar, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, Imam Syaukani, Al-Hafidz Al-Iroqi dll adalah ahli kalam karena mereka menerima pembagian hadis menjadi Mutawatir-Ahad !!!! Bukankan Imam Syafi’I juga menulis dalam kitabnya ‘’Ar-Risalah” satu bab khusus yang membahas tentang hadis Ahad, hal yang sama juga dilakukan oleh para imam yang lain. Sungguh ini merupakan pelecehan berat yang dilakukan oleh ‘para pelajar’ terhadap para Ulama, sebagaimana disinyalir oleh Imam Ibn Al-Muqaffa’ ketika menjelaskan tentang Al-Haq, beliau berkata : “ Aku tidak tahu ada siapa yang lebih dangkal pemahamannya terhadap agamanya, selain orang-orang mengambil pendapatnya sendiri (yang menyelisi Al-Kitab dan As-Sunnah-pent) dan orang lain sebagai orang yang bertaqlid (mengambil pendapat tanpa meneliti dalilnya terlebih dahulu-pent) dalam masalah-masalah agama” .
c- Mereka menyatakan bahwa pembagian ini dilakukan hanya oleh ahli kalam. Kami katakan bahwa pendapat seperti tidak ada asalnya (La Ashla lahu). Silahkan mereka untuk membuka kitab-kitab Ulumul Hadis seperti :
- Tadribu Al-Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, oleh Imam Suyuti
- Taqrib li An-Nawawi ma’a Syarhihi At-Tadrib, tahqiq Imam Abdul Wahab Abdul Lathif
- Ar-Risalah Al-Mustarafah li bayani masyhur Kitab Al-Sunnah Al-Musyrifah, oleh Imam Katani
- Ulum Al-Hadis , oleh Imam Ibn Sholah
- Fathu Al-Mughis Syarh Alfiyah Al-Hadis, Oleh Imam Sakhowi
- Al-Kifayah fi Ilmi Ar-Riwayah , Oleh Imam al-Khotib Al-Baghdadi (juz 1\hal. 17)
- Nukhbatu Al-fikr ma’a Syarhiha Nuzhatu An-Nadzor, oleh Al-Hafidz Ibn Hajar
- Taisir Mustholah Al-Hadis oleh DR. Mahmud Ath-Thohhan
- Ulum Al-Hadis oleh DR. Nuruddin Al-Itr
- Ushul Al-Hadis oleh DR. Muhammad Ajij Al-Khotib , dll
Apakah ada diantara mereka yang tidak membagi hadis menjadi Mutawatir-Ahad berdasarkan jumlah perawinya. Sadarlah wahai orang-orang yang berakal !!!!
3- Shubhat Ketiga : Mereka mengklaim dirinya adalah orang yang paling mengerti tentang hadis Rasul SAW, karena semua Syeikh-syeikh mereka adalah Ahli Hadis (Muhaddis) ?
Kami menjawab : Semua orang boleh melakukan klaim, tetapi semua itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Coba perhatikan penjelasan Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadis (muhaddis) itu sebenarnya : “Menurut sebagian Imam hadis, orang yang disebut dengan Ahli Hadis (Muhaddis) adalah orang yang pernah menulis hadis, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk mendapatkan hadis, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadis), dan mengomentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan”. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi –pent) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadis. Tetapi jika ia sudah mengenakan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masanya, atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni –pent). Dan hanya mempelajari hadis Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya ,bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddis bahkan ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam (Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1\hal. 40-41). Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah Muhaddis generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’I, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi ,Imam Ibn Hibban dll. Sehingga apakah tidak terlalu berlebihan (atau bahkan termasuk Ghuluw –pent) dengan menyamakan mereka (Imam Bukhari, Imam Muslim, imam Abu Dawud dkk –pent) dengan syeikh-syeikh mereka yang tidak pernah menulis hadis, membaca, mendengar, menghafal, meriwayatkan, melakukan perjalanan mencari hadis atau bahkan memberikan kontribusi pada perkembangan Ilmu hadis yang mencapai seribu karangan lebih ?!?!

4- Shubhat Keempat : Mereka mengklaim bahwa dirinyalah yang paling mengerti Sunnah dan paling layak untuk menafsirkan kandungan-kandungannya. Karena (menurut mereka–pent) mereka telah menghabiskan banyak waktu untuk melakukan takhrij dan tahqiq terhadap hadis-hadis Rasul SAW dalam berbagai kitab hadis ?
Kami menjawab : Penelitian hadis tidak sebatas men-takhrij sebuah hadis lalu selesai permasalahannya. Banyak hal lain yang perlu diperhatikan untuk dapat menggali hukum-hukum yang dikandungnya sehingga ia (proses istimbath –pent) membutuhkan ilmu tentang bahasa arab (Nahwu-Shorrof, Balaghoh, faidah yang dapat dipetik dari sebuah kata seperti faedah huruf fa’, wau dll), Ilmu Ushul Fiqh ( dapat membedakan dalil yang Amm dengan yang Khos, yang Mutlaq dengan yang Muqoyyad, yang Amr dengan yang Nahi , kalimat musytarak dengan yang tidak , dalil yang memiliki Illat dengan yang tidak dll), Ilmu Ulum Al-Qur’an (seperti macam-macam qiraat, sabab an-Nuzul dll), Ilmu Nasikh-Mansukh, Metode tarjih (jika dalil-dalil yang terlihat saling bertentangan dll), dan banyak ilmu-ilmu lainnya selain ilmu hadis itu sendiri. Sehingga seringkali seorang membawa hadis kepada orang yang lebih faqih darinya (menguasai ilmu untuk melakukan Ijtihad- pent) sebagaimana pernah disinggung dalam sebuah hadis rasul : ” Seringkali seorang membawa hadis\ilmu pada orang yang lebih faqih darinya ” (HR. Bukhori). Dan perhatikan keterangan dari para ulama berikut (bahwa masalah ini tidak sesederhana apa yang mereka klaimkan) :
- Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadis yang bermahdzab Hanafi menukil pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn Abidin Dalam Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam bukunya Daf’ Al-Auham An-Masalah AlQira’af Khalf Al-Imam, hal. 15 : ‘’ Kita melihat pada masa kita, banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan ,padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu kitab dari enam kitab hadis (kutub As-Sittah), dan ia menemukan satu hadis yang bertentangan dengan madzab Abu Hanifah, lalu berkata buanglah madzab Abu Hanifah ke dinding dan ambil hadis Rasul SAW’’. Padahal hadis ini telah mansukh atau bertentangan dengan hadis yang sanadnya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga hilanglah kewajiban mengamalkannya. Dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan hadis seperti ini diserahkan secara mutlak kepadanya maka ia akan tersesat dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang ‘’.
- Al-Hafidz Ibn Abdil Barr meriwayatkan dalam Jami’ Bayan Al-Ilmu, juz 2\hal. 130, dengan sanadnya sampai kepada Al-Qodhi Al-Mujtahid Ibn Laila bahwa ia berkata : ’’ Seorang tidak dianggap memahami hadis kalau ia mengetahui mana hadis yang harus diambil dan mana yang harus ditinggalkan ’’ .
- Al-Alamah Al-Kautsari mengatakan : ’’ Banyak terjadi pada banyak rawi yang tidak menguasai fiqh dan tidak dapat membedakan mana hadis yang harus diamalkan dan mana yang tidak ’’ .
- Al-Qodhi Iyadh dalam Tartib Al-Madarik, juz 2\hal. 427; Ibn Wahab berkata : ‘’ Kalau saja Allah tidak menyelamatkanku melalui Malik Dan Laits, maka tersesatlah aku. Ketika ditanya, mengapa begitu, ia menjawab, ‘Aku banyak menemukan hadis dan itu membingungkanku. Lalu aku menyampaikannya pada Malik dan Laits, maka mereka berkata : ‘’ Ambillah dan tinggalkan itu ’’ .
- Imam Malik berpesan kepada kedua keponakannya (Abu Bakar dan Ismail, putra Abi Uwais); ’’Bukankah kalian menyukai hal ini (mengumpulkan dan mendengarkan hadis) serta mempelajarinya ?, Mereka menjawab : ‘Ya’ , Beliau berkata : Jika kalian ingin mengambil manfaat dari hadis ini dan Allah menjadikannya bermanfaat bagi kalian, maka kurangilah kebiasaan kalian dan pelajarilah lebih dalam ‘’. Seperti ini pula Al-Khatib meriwayatkan dengan sanadnya dalam Al-Faqih wa Al-Mutafaqih juz II\hal. 28.
- Al-Khotib meriwayatkan dalam kitabnya Faqih wa Al-Mutafaqih, juz II\hal. 15-19, duatu pembicaraan yang panjang dari Imam Al-Muzniy, pewaris ilmu Imam Syafi’i. Pada bagian akhir Al-Muzniy berkata : ’’ Perhatikan hadis yang kalian kumpulkan.Tuntutlah Ilmu dari para fuqoha agar kalian menjadi ahli fiqh ’’.
- Dalam kitab Tartib Al-Madarik juz I\hal. 66, dengan penjelasan yang panjang dari para Ulama Salaf tentang sikap mereka terhadap As-Sunnah, a.l :
Umar bin Khotab berkata diatas mimbar: ’’ Akan kuadukan kepada Allah orang yang meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan yang diamalkan ’’.
Imam Malik berkata :’’ Para Ahli Ilmu dari kalangan Tabi’in telah menyampaikan hadis-hadis, lalu disampaikan kepada mereka hadis dari orang lain, maka mereka menjawab : “Bukannya kami tidak tahu tentang hal ini. Tetapi pengamalannya yang benar adalah tidak seperti ini ‘’.
Ibn Hazm berkata: Abu Darda’ pernah ditanya :’’ Sesungguhnya telah sampai kepadaku hadis begini dan begitu (berbeda dengan pendapatnya-pent). Maka ia menjawab:’’ saya pernah mendengarnya, tetapi aku menyaksikan pengamalannya tidak seperti itu”.
Ibn Abi zanad , ‘’Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan para Ulama dan Fuqoha untuk menanyai mereka tentang sunnah dan hokum-hukum yang diamalkan agar beliau dapat menetapkan. Sedang hadis yang tidak diamalkan akan beliau tinggalkan, walaupun diriwayatkan dari para perawi yang terpercaya’’. Demikian perkataan Qodhi Iyadh.
- Al- Hafidz Ibn Rajab Al-Hambali dalam Kitabnya Fadhl ‘Ilm As-Salaf ala Kholaf\hal.9, berkata : ” Para Imam dan Fuqoha Ahli Hadis sesungguhnya mengikuti hadis shohih jika hadis itu diamalkan dikalangan para Sahabat atau generasi sesudahnya, atau sebagian dari mereka. Adapun yang disepakati untuk ditinggalkan, maka tidak boleh diamalkan, karena tidak akan meninggalkan sesuatu kecuali atas dasar pengetahuan bahwa ia memang tidak diamalkan ’’ .

Oleh karena itu Dr. Muhammad ‘Awwamah berkata dalam kitab Atsar Al-Hadis Asy-Syarif fi Ikhtilafi Al-Aimmah Al-Fuqoha ra. (terjemah dengan judul ‘Melacak Akar Perbedaan Madzhab’) pada hal. 46 : ‘’ Kelayakan pengamalan sebuah hadis terjadi setelah sempurna sanad dan redaksinya dengan syarat yang banyak. Diantaranya syarat-syarat Haditsiyah dan Ushuliyah. Sehingga persoalannya tidak hanya berhenti pada pandangan tentang para perawi hadis (rijal Al-Isnad) yang terdapat dalam kitab Taqrib At-Tahdzib sebagaimana disangkakan banyak orang pada masa ini ” . Dan hanya orang yang diberi petunjuk oleh Allah melalui bimbingan para Ulama yang terpercayalah yang akan selamat dari fitnah yang diciptakan oleh orang-orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya !?!!

5-Shubhat Kelima : Mereka mengklaim bahwa pembagian akal yang benar adalah menjadi akal Haqiqi dan akal Majazi ?!?
Kami menjawab : Model pembagian seperti ini mirip dengan pembagian para filosof seperti Al-Farabi dan Ibn Sina ketika mereka membagi akal menjadi akal aktif (Al-Aql Al-Fa’al), akal pasif (Al-Aql bi Al-Munfa’il), akal daya (Al-Aql bi Al-Quwwah), akal inti (Al-Aql Al-Hayula) (Lihat Kitab As-Siyasah li Al-Farabi hal. 23; Risalah fi Al-Uqul li Ibn Sina hal. 418). Kemudian namanya dirubah menjadi “akal haqiqi dan akal majazi” , yang pada hakekatnya adalah pemikiran-pemikiran filsafat. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah tatkala model pembagian ala filsafat ini dibumbui dengan sejumlah dalil yang dita’wil sedemikian rupa untuk mengelabui para pembaca, sehingga seakan-akan pembagian seperti ini dilegalisasi oleh Islam, padahal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali. Bahkan para Ulama seperti Ibn Taimiyah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dll, telah membantah habis kesesatan ide dan pemikiran yang digagas oleh para ahli kalam dan filosof, serta mengingatkan umat agar tidak terjebak dengan fitnah ilmu kalam dan filsafat yang telah menyesatkan banyak orang dari umat ini (lihat kitab Ushul Ad-Dien oleh Abdul Qodir Al-Baghdadi hal. 308; Al-Ushul wa Al-Furu’ oleh Ibn Hazm jilid 2\hal. 196; Syarah Ath-Thohawiyah oleh Ibn Abi Al-Izzi hal. 9-10; Manahij Al-Bahsi oleh Al-Nasyar hal 114-220). Sehingga menjadi jelaslah bagi orang-orang yang berakal bahwa kelompok yang senang memberi label kelompok yang tidak sefaham dengannya sebagai pengikut ilmu kalam dan filsafat, ternyata dirinya sendiri banyak terjebak dengan pemikiran-pemikiran kalam itu sendiri, termasuk ketika mereka membuat kesimpulan dengan akalnya dengan menyatakan tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah berarti telah membuang banyak masalah yang berhubungan aqidah. Hal itu pada hakekatnya adalah permainan akal para filosof semata !!! .

6- Shubhat Keenam : Mereka menuduh para aktivis dari pergerakan islam itu, berdakwah tanpa bekal ilmu yang memadai, bahkan kosong dari ilmu. Dan hanya mereka yang pantas untuk membicarakan dan membina umat dengan Dien Islam ?1?
Kami Menjawab : Kami sekarang ingin bertanya kepada anda, ilmu seperti apa yang anda maksud. Apakah ilmu tentang Ilmu Tajwid dan ilmu Qira’aat, atau Ilmu Ulum Al-Qur’an dan cabang-cabangnya, atau Ilmu Ulum Al-Hadis dan cabang-cabangnya yang berjumlah puluhan itu, atau Ilmu ushul Fiqh yang membahas banyak masalah didalamnya, atau ilmu bahasa arab yang meliputi ilmu Nahwu , Shorrof, Balaghoh : Badi’ – Ma’ani – Bayan, atau Ilmu tentang Aqidah dan cabang-cabangnya dll. Apakah anda mengajarkan semua itu ! atau hanya sebatas membacakan bagian tertentu dari kitab para Ulama yang membahas tentang masalah ibadah mahdhah saja ditambah sedikit masalah-masalah akhlaq lalu memperbanyak perdebatan didalamnya, lalu anda katakan kepada para santri anda yang kebanyakan orang awam yang ikhlas itu, bahwa mereka telah mengusai Tsaqofah Islamiyah, sedang yang selain mereka tidak punya bekal seperti yang mereka punyai. Permainan seperti apa yang hendak anda lakukan untuk menggiring orang-orang yang ikhlas ini untuk memusuhi saudaranya. Anda telah mendorong mereka untuk berlaku congkak dan memandang rendah saudara mereka yang lain. Padahal anda tahu, hal itu adalah sangat bertentangan dengan Islam. Terlebih lagi para masyaikh yang menjadi guru besar berbagai Ilmu Dien di berbagai Universitas terkemuka di Timur Tengah seperti Al-Azhar, Az-Zaitun, Univ. Ibn Su’ud dll, adalah aktivis dari berbagai harokah Islam yang anda anggap tidak mempunyai Ilmu, sedang anda menukil pernyataan itu dari murid ‘Para Masyaikh’ ini. Kemudian “para murid” ini mengkritik dan mengatakan bahwa guru-gurunya dan harokah yang ia ikuti adalah tidak memiliki bekal ilmu yang memadai untuk berdakwah, laksana seorang murid TK yang mengkritik Profesor di sebuah Universitas ternama --- Siapa yang akan percaya dengan pernyataan “nyleneh” ---- seperti ini. Lalu kalau memang benar bahwa hanya andalah yang mengusai seluruh tsaqofah Islam, maka mana konsep anda tawarkan untuk mengatasi krisis keuangan, mana juga konsep anda untuk menangani masalah ketenagakerjaan, juga masalah pengelolaan sumber daya alam, masalah good and clean government, mana konsep anda tentang Bank Sentral ala Islam, dan konsep untuk menata ekonomi baik yang berskala makro atau mikro ekonomi berdasarkan Islam, juga tentang pendidikan, kesehatan, politik luar negeri, sistem pidana, perundang-undangan dll. Kalau anda tidak mempunyai itu semua dan anda tidak mampu untuk memberi jawaban atas berbagai problematika multidemensional yang dihadapi oleh umat ini, lalu untuk apa anda berteriak-teriak akan dapat menjadi juru selamat kalau tidak ada yang bisa anda gunakan untuk menyelamatkan umat ini. Anda dan kelompok anda seperti dalam pepatah arab yang mengatakan bahwa ‘Orang yang tidak mempunyai sesuatu, pasti ia tidak akan mampu memberi sesuatu itu’. Maka batal dan rontoklah shubhat yang dilontarkan oleh mereka ?!??

7- Shubhat Ketujuh : Mereka mengklaim bahwa pendapat mereka yang paling benar karena didukung oleh hadis-hadis shohih, sedang pendapat dari kebanyakan harokah Islam didukung oleh banyak hadis Dho’if, sehingga merekalah yang merasa paling layak membawa Ilmu Para Salafus Sholeh ?
Kami menjawab: Hal itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Sehingga apa yang mereka klaimkan tetap menjadi klaim saja tanpa bukti. Kami katakan kepada mereka agar mereka bertanya kepada para Ahli Ilmu tentang kandungan hukum yang ada dalam hadis yang mereka bawa agar mereka tidak tersesat dalam pengamalannya. Perhatikan peringatan Al-Hafidz Ibn Abdil Barr berikut : ‘’ Dikatakan oleh Al-Qodhi Mundzir, bahwa Ibn Abdil Barr mencela dua golongan, yang pertama , golongan yang tenggelam dalam ro’yu dan berpaling dari Sunnah, dan kedua, golongan yang sombong yang berlagak pintar padahal bodoh (menyampaikan hadis, tetapi tidak mengetahui isinya –pent) (Dirangkum dari Jami’ Bayan Al-Ilm juz II\hal. 171). Syeikhul Islam Ibn Al-Qoyyim Al-Jawziyah berkata dalam Kitab I’lamu Al-Muwaqqi’in juz I\hal. 44, dari Imam Amad, bahwa beliau berkata:’’ Jika seseorang memiliki kitab karangan yang didalamnya termuat sabda Nabi SAW, perbedaan Sahabat dan Tabi’in, maka ia tidak boleh mengamalkan dan menetapkan sekehendak hatinya sebelum menanyakannya pada Ahli Ilmu, mana yang dapat diamalkan dan mana yang tidak dapat diamalkan, sehingga orang tersebut dapat mengamalkan dengan benar”. Dan Al-Hafidz Ibn Rajab mengutip perkataan Imam Mujtahid Sufyan Ats-Tsauri : ’’ Ada Hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum ’’ (Lihat kitab Syarh Ilal At-Tirmidzi hal. 29). Sehingga berdasarkan penjelasan dari para Ulama ini maka batallah hujjah mereka !!!

9- Shubhat Kesembilan : Mereka Menyatakan bahwa tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah berarti telah membuang banyak masalah yang berhubungan aqidah seperti karakteristik surga dan neraka, Al-Haudh dll !!!
Kami menjawab : Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa keimanan cukup dibangun berdasarkan dalil dzonni saja, seperti menetapkan aqidah dengan hadis ahad. Menurut mereka, tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah merupakan rencana yang dapat membahayakan aqidah umat. Malah menurut mereka hal ini merupakan perbuatan nifaq, karena menurut pemahaman mereka , tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah berarti menerima sebagian aqidah dan meninggalkan sebagian lainnya. Pendapat dan kritikan diatas, menurut kami sangat membahayakan kelangsungan aqidah umat. Lebih jauh lagi, ia bertentangan dengan nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur,an dan As-Sunnah. Selain itu juga bertentangan dengan pendapat mayoritas Ulama kaum Muslimin. Karena menetapkan sesuatu adalah bagian dari aqidah Islam atau bukan, tidak ditentukan berdasarkan akal atau perasaan kita dengan mengatakan bahwa ‘’ menurut akal saya atau perasaan saya, kok kira-kira ini bagian dari aqidah ‘’ , tidak sekali lagi tidak dapat dikatakan seperti itu, melainkan harus ditentukan berdasarkan dalil.
Tidak menjadikan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah adalah sangat berbeda dengan mengingkari hadis ahad seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah. Mereka mengingkari kehujjahan hadis ahad karena menurut mereka tidak rasional. Mereka mengatakan: “ Apakah kalian menemukan di dalam kubur alat-alat untuk menyiksa seperti paku, gergaji, palu dll ”, dan tentu mereka (Muta’zilah) tidak akan menemukannya karena itu berkaitan dengan hal yang ghoib\ tidak dapat diindera kemudian mereka mengingkari hadis ahad tentang adzab qubur karena menurut mereka tidak rasional (Lihat Kitab Ar-Ruh Oleh Imam Ibn Al-Qoyyim Al-Jauziyah). Sedang mayoritas Ulama yang tidak menjadikan hadis Ahad sebagai dalil Aqidah adalah tidak mengingkari adanya adzab qubur, kedatangan Imam Al-Mahdi, Karakteristik Surga-Neraka, dan masalah ghoib lainnya yang diinformasikan dengan hadis ahad, tetapi mereka menduga dengan keras (Gholibatu Adz-Dzonn) tentang kebenaran semua itu walau tingkat keyakinannya tidak sampai derajat Qoth’I\Pasti (dengan pembenaran 100%), lalu sebagian besar diantara mereka tidak memasukkan hadis ahad dalam kajian Aqidah tetapi dimasukkan dalam pembahasan “At-Targib wa At-Tarhib”. Hal ini disebabkan jumhur Ulama dari berbagai disiplin ilmu Dien telah menetapkan derajat hadis ahad hanya menghasilkan dugaan keras saja tidak sampai derajat Yaqin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh DR. Muhammad Ajaj Al-Khotib bahwa Jumhur Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Jumhur Mutakallimin dll menegaskan bahwa hadis ahad hanya memberi faedah dzon dan wajib diamalkan (dalam masalah hukum furu’\cabang –pent) (Lihat kitab Al-Ihkam li Ibn Hazm jilid 1\hal. 97, 108-122; Al-Mutashfa li Imam Al-Ghozali jilid 1\hal. 93-99; Al-Ihkam li Al-Amidi jilid 2\hal. 49-60). Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Muhammad Ibn Abdul Baqi Ibn Yusuf Al-Zarqonni, ketika ia menjelaskan tentang batalnya wudhu; karena menyentuh kemaluan tanpa penghalang. Hadis ini adalah dalil tentang penerimaan hadis ahad dan kebolehan berpegang pada dalil yang dzon (dalam masalah amal perbuatan atau hukum syara’, tetapi tidak dalam masalah aqidah -pent) (lihat Kitab Syarh Az-Zarqoni\jilid 1\hal. 126\Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah\Beirut\1411 H --- Cetakan Pertama).
Imam Imam Muhammad ibn Ibrahim Ibn Jamaah menambahkan bahwa hadis ahad adalah semua hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadis Mutawatir. Dan ada yang berpendapat bahwa hadis ahad memberi faedah Dzon (Kitab Al-Minhal Ar-Rawi jilid 1\hal. 32\Dar Al-Fikr\ Dimsyaq – Siria \ 1406 H\ Cetakan Kedua).
Padahal masalah Aqidah karena merupakan sebuah kepastian maka ia harus dibangun dengan dalil-dalil yang memberikan kepastian pula dari dalil yang qoth’I tsubut (yaitu Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir) dan qoth’I dalalah (penunjukan maknanya pasti sehingga tidak mungkin ditafsirkan kepada makna yang lain). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafidz Ibn Katsir (Tafsir Al-Qur’an Al-A’dzim juz I, hal. 40) : “ Imam yang telah ditentukan syara’ dan diserukan kepada seluruh kaum Muslimin adalah berupa I’tiqod, ucapan, dan perbuatan ” . Begitulah pendapat sebagian besar Imam-imam mahdzab. Malah menurut Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin hambal, dan Abu Ubaidah, ia telah menjadi ijma’’. Dan diperkuat oleh Imam Ibn Mundzir dalam Lisanul Arab bahwa ‘’ Arti Imam adalah Tasdiq (pembenaran). Dalam kitab At-Tahdzib, disebutkan bahwa Iman adalah asal kata dari yang artinya ‘’Ia seorang Mu’min”. Dalam hal ini, para Ahli bahasa sepakat bahwa iman berarti tashdiq (pembenaran). Perhatikan firman Allah SWT sebagai berikut : ‘’Orang-orang arab badui itu berkata, Kami telah beriman. Katakan kepada mereka : ‘Kamu belum beriman’. Tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’ (QS. Al-Hujurat -14) “ .
Hal ini dilakukan oleh para Ulama dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Islam dari bersih dari berbagai penyimpangan seperti aqidah yang dimiliki generasi yang terbaik yaitu generasi para Salafus Sholeh (generasi Shohabat, Tabi’in, dan Tabiut Tabi’in-pent) ( Lihat Kitab Radd ala Al-Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyah; Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi , hal. 175 ).
Usaha untuk menggunakan dalil yang jelas untuk membangun Aqidah Umat Islam dengan jalan membatasinya pada dalil-dalil Qoth’I, harus terus kita lakukan. Dan untuk memberikan keyakinan tentang masalah ini marilah kita mengkaji argumentasi dari para Imam panutan umat untuk membantah mereka yang menyangkal prinsip yang mulia ini.
Salah satu argumentasi yang mereka ketengahkan untuk mendukung pendapat mereka adalah adanya klaim bahwa para Imam termasuk Imam Empat Madzab a.l: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal, dimana mereka telah sepakat bahwa periwayatan secara Ahad (khobar Ahad-pent) memberikan pengetahuan yang pasti dan dapat digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah. Dan apa yang sesungguhnya dikatakan para Imam bertentangan dengan klaim diatas. Faktanya tatkala kita membaca Kitab yang ditulis para Imam ini dan para muridnya dan para Ulama sesudahnya yang mengikuti jejak para Imam Ahlus Sunnah ini, akan mendapatkan bahwa mereka berpegang dengan pendapat yang menyatakan bahwa : “Khobar Ahad tidak memberikan pengetahuan yang pasti (dzon-pent)”, tetapi khobar ini memberikan pengetahuan minimal dugaan keras (dzon rajih), walaupun terbukti bahwa sanadnya shohih dan digunakan hanya sebagai dalil dalam masalah amal perbuatan, tetapi tidak dalam masalah aqidah.
Banyak orang telah menyatakan bahwa para Imam menerima hadis ahad sebagai dalil yang memberi kepastian (qoth’I-pent) dan digunakan sebagai dalil dalam masalah aqidah. Bagaimanapun apa yang telah mereka lakukan, jelas merupakan penukilan yang tidak sesuai dengan pernyataan para Imam khususnya Imam Empat Madzab. Para Imam ini membuat berbagai pernyataan berkaitan berkaitan dengan masalah khobar ahad, dalam rangka membantah pendapat kelompok-kelompok bid’ah pada masanya, yang telah menolak khobar ahad sebagai dalil secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah atau masalah amal perbuatan. Untuk dapat memberikan gambaran yang sesungguhnya tentang posisi para Imam dalam masalah ini, kita harus mengkaji secara langsung dari kitab-kitab yang ditulis oleh para Imam ini dan para murid-muridnya yang terpercaya. Dimana mereka (murid para Imam-pent) mendengar dan mendapat penjelasan secara langsung dari para gurunya. Pemahaman mereka terhadap masalah ini (masalah khobar ahad-pent) merefleksikan pemahaman para gurunya, dan sudah seharusnya kita mempercayai pemahaman mereka lebih dari pemahaman kita sendiri setelah mengkaji dan mempelajari kitab para Ulama tersebut. Oleh karena itu marilah kita meneliti lebih dalam apa pendapat Imam panutan umat yang mewakili madzab-madzab ini dalam masalah hadis ahad sebagai berikut :
1- Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H) menyatakan :
‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz 2\hal.5).
2- Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat Imam Yusuf Al-Kirmani bahwa : “ Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah ’’ (Fathul Bari Juz 8, Bab Khobar Ahad).
3- Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata :
‘’ Bahwa masalah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni ’’. Lalu menambahkan: ‘’ Barang siapa menolak Ijma ’’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan ’’ (Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent).
4- Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata :
“ Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama, bukan masalah ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama” ( Syarh Asnawi Nihayah as-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal. 214).
5- Imam Zainuddin bin Ibrahim Ibnu Najim (w. 970 H) menyatakan hal sama dengan Imam As-Sarkhasi bahwa hadis Ahad (Dzon Tsubut-pent) wajib diamalkan, tetapi tidak untuk masalah I’tiqod (Aqidah-pent) (Lihat Fath Al-Ghaffar Al-Ma’ruf bi Misykah Al-Anwari, juz 2\hal. 63).
6- Imam Al-Khobazi menyatakan hal yang tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam As-Sarkhasi dan Imam Ibnu Najim tentang status hadis ahad ( Lihat Kitab Al-Mughni fi Al-Ushuli Al-fiqhi li Al-Khobazi, hal. 84).
7- Imam Kasani menyatakan :
“ Pendapat sebagian besar fukoha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun dengan dalil-dalil yang qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya, sementara masalah amal (tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja” ( Badaa’iu Shanaa’I juz 1\hal. 20).
8- Imam Abu Ishak Sya’tibi (w. 790 H) menyatakan :
“ Bahwa Ushul fiqh dalam agama harus dibangun dengan dalil-dalil qoth’I, bukannya dengan dalil-dalil dzoni. Seandainya boleh menjadikan dalil dzoni sebagai dalil dalam masalah Ushul seperti Ushul Fiqh maka juga membolehkan (hadis ahad-pent) sebagai dalil dalam masalah Ushul Ad-din (Aqidah –pent) dan hal ini jelas tidak diperbolehkan menuruj ijma’ (kesepakatan-pent). Karena masalah Ushul fiqh juga dinisbahkan dalam masalah Ushul Ad-din” (Al-Muwafaqat fi Ushuli Asy-Syar’iyah ).
9- Imam Muhammad Ibn Ahmad Ibn Sahl Abu Bakar Shams Al-A’ima Al-Sarkhasi (w. 483)
Imam besar Hanafiyah dan seorang Mujtahid, dalam kitabnya (Al-Usul Al-Sarkhasi juz 1\hal. 112, 321-333) membantah mereka yang menerima Khobar Ahad dalam masalah Aqidah. Beliau menerangkan hakikat dari Khobar Ahad dan perbedaan antara dalil Qoth’I dan dalil Dzonni sebagaimana perbedaaan pada Tabligh dan Khobar. Untuk mengilustrasikan beliau memberi contoh pada masalah adzab kubur.
10- Fakrudin Muhammad bin Umar bin Husain Ar-Razi (w. 606 H) mengilustrasikan poin berkaitan dengan hadis Ahad sebagai berikut : “ Saya katakan kepada seseorang bahwa hadis yang menyebutkan Ibrahim pernah berbohong sebanyak 3 kali, adalah tidak benar, karena jika hadis ini diterima, maka akan membuktikan Ibrahim sebagai seorang pendusta. Orang tersebut menyatakan bahwa para perawi hadis ini adalah perawi yang terpercaya (tsiqoh –pent) dan tidak dapat dinilai sebagai pendusta. Saya menjawab bahwa hadis ini, kalau kita terima akan membuktikan bahwa Ibrahim adalah seorang pendusta dan kalau ditolak berarti para perawi dianggap pendusta, dimana keterangan yang baik dan lebih disukai adalah untuk diberikan pada Ibrahim AS ” ( Lihat Tafsir Al-Kabir dan Al-Mahshul fi Ilmi Al-Ushul).
11- Imam Abdur Rauf Al-Manawi ketika beliau menjelaskan tentang masalah syafa’at menyatakan : “Masalah ini adalah bukan masalah amaliyah, sehingga tidak cukup dengan dalil dzon seperti yang faedah yang diberikan oleh hadis ahad …..’’ (Lihat Kitab Faidhul Qodhir jilid 4\hal. 163\Al-Maktabah Al-Jariyah Al-Kubra --- Mesir\ 1356 H\ Cetakan Pertama).
12- Imam Ibn Abdil Bar menyatakan : “ Kebanyakan ahli ilmu menyatakan bahwa hadis ahad mewajibkan amal (dalam masalah hukum furu’ –pent) tanpa ilmu (tidak sampai derajat yaqin sebagai dalil dalam masalah aqidah –pent). Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas (jumhur) Ulama fiqh dan Nadzar “ (Kitab At-Tamhid Li Ibn Abdil Bar jilid 1\hal. 7 – 8) .
13- Imam Ibn Rusd menjelaskan bahwa para Ulama Kuffah menolak sebuah hadis kalau bertentangan dengan Ushul yang mutawatir, termasuk metode mereka ketika menolak hadis ahad tatkala menyelisihi Ushul yang mutawatir, dimana hadis ahad berfaedah dzon dan masalah ushul adalah keyakinan yang harus dibangun dengan dalil yang memberi keyakinan pula (yaitu hadis mutawatir –pent) (Lihat Kitab Bidayah Al-Mujtahid jilid 2\hal. 216\Dar Al-Fikr\ Beirut --- Libanon).
13- Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan : “ Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu (yakin)” ( Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal. 147-148).
14- Maulana M. Rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis dan autentitasnya dari serangan para orientalis : “ Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada seorang perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi kepada seorang perawi”. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa: “Hadis Ahad tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah praktis” (Lihat Kitab Izhar Al-Haq Oleh Maulana Kairanzi juz 4).
15- Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal (Lihat Buku Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam hal. 54).
16- Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah aqidah/keimanan karena keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya memberikan faedah Dzonni (Lihat Buku Ilmu Mustholah Hadits hal. 31) (Lihat juga makalah kami yang berjudul “Sekali Lagi tentang Hadis Ahad” –pent).

Sehingga kalau demikian jelas pendapat serta penjelasan mayoritas Para Ulama rabbani yang menjadi Panutan Umat dalam masalah ini, kemudian kami hendak bertanya, pendapat yang selama ini anda gembar-gemborkan itu sebenarnya dinukil dari siapa atau anda hanya sekedar menyelewengkan pendapat mereka untuk memenuhi nafsu permusuhan anda dengan orang atau kelompok yang seharusnya menjadi saudara seperjuangan untuk membina dan menyelamatkan umat ini dari kehancuran, bukan dengan menebar fitnah dan syahwat permusuhan !?!. Kembalilah ke jalan Al-Haq, Wahai orang-orang rindu akan kebenaran ?!?!
Bahkan dengan menerima hadis ahad dalam masalah aqidah akan menimbulkan beberapa permasalahan seperti contoh yang disampaikan oleh Syeikh Nashiruddin Al-Albani ketika menyampaikan hadis dari Ibn Abbas bahwa nabi SAW bersabda: “ Sesungguhnya makhluk yang pertama kali diciptakan Allah SWT adalah Al-Qolam. Dan Dia memerintahkan supaya menulis tiap-tiap sesuatu yang ada “ . Beliau mengomentari hadis ini dengan menyatakan: “ Al-Qolam adalah makhluk pertama yang diciptakan ……….Dan kurang tepat apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah dalam menyanggah para Filosof, bahwa sesuatu yang baru (makhluk) itu tidak ada permulaannya baginya, ini tidak dapat diterima logika. Dalam hal ini para lawannya menuduh bahwa Ibn Taimiyah telah menganggap bahwa makhluk itu qodim dan tidak ada permulaan baginya. Padahal dipihak lain dia juga menegaskan bahwa tidak ada suatu makhluk melainkan ia didahului oleh adam (tidak ada). Namun bersamaan dengan itu dia juga mengatakan adanya kaitan sesuatu yang baru (hawadits) dengan sesuatu yang tidak memiliki permulaan baginya. Sebagaimana yang dia dan kawan-kawannya katakana bahwa makhluk itu tidak memiliki penghabisan (akhir). Pendapat ini jelas tidak dapat diterima. Bahkan bertentangan dengan hadis ini. Memang, sesungguhnya berbicara tentang filsafat adalah berbahaya. Akan tetapi benar apa yang dikatakan oleh Ibn Malik ra., bahwa setiap orang bisa menyanggah dan disanggah, kecuali penghuni kubur ini ( Rasul SAW) (Lihat terj. Silsilah Al-Ahadis Ash-Shohihah jilid I oleh Drs. H. Qodirun Nur, hadis no. 133, hal. 296-297). Kemudian kami ingin bertanya kepada anda, manakah pendapat yang akan anda ambil ? Kalau anda mengambil keduanya maka anda telah mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa pengetahuan ( karena berarti Allah menciptakan sesuatu yang baru (makhluk) itu yang tidak ada permulaan baginya dan pada saat bersamaan menciptakan Al-Qolam sebagai makhluk pertama). Sedang mengambil salah satu pendapat berarti menolak dan menyalahkan pendapat yang lain (berarti salah satu dari Imam Ibn Taimiyah atau Syeikh Albani telah menyimpang dalam masalah aqidah dalam perkara ini). Pertanyaannya, siapakah menurut anda yang telah menyimpang dalam masalah ini apakah Imam Ibn Taimiyah atau Syeikh Albani ?!?

10- Shubhat Kesepuluh : Ada sebagian orang menyatakan bahwa Imam Bukhori membolehkan menerima hadis ahad dalam masalah aqidah dan hal ini juga didukung oleh Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari-nya ?!?
Kami menjawab : Pernyataan ini tidak ada asalnya (La Ashla lahu), bahkan ini merupakan penyimpangan dan pemelintiran dari pernyataan Imam Bukhori yang sesungguhnya. Imam Bukhori mempunyai sebuah bab dalam kitab shohih-nya yang terkenal yaitu Bab sesuatu yang datang tentang kebolehan hadis ahad sebagai dalil untuk masalah Adzan, Sholat, Shoum, Faraidh dan Ahkam ; titik dan tidak ada pernyataan dari Imam Bukhori tentang kebolehan hadis ahad sebagai dalil dalam masalah aqidah, baik tidak dalam kitab Shohih-nya atau dalam kitab-nya yang lain. Dan Al-Hafidz Ibn Hajar ketika menjelaskan kata “bi Al-Ijazah” menyatakan tentang kebolehan beramal (ahkam furu’iyah) dengan hadis ahad dan hadis ahad adalah hujah. Lalu dimana Ibn Hajar menyatakan tentang kehujjahan hadis ahad dalam masalah aqidah !!! Bahkan beliau menukil pendapat Imam Al-Kirmani menyatakan bahwa Hadis ahad adalah hujjah dalam masalah amaliyah, tidak dalam masalah I’tiqodiyah (Fathul Bari juz 13, Bab Akhbar Al-Ahad), beliau mengutip pendapat ini tanpa mengomentarinya, yang berarti belaiu cenderung untuk mengadopsi pendapat ini. Dan hal ini ditegaskan dengan sikap Al-Hafidz Ibn Hajar tentang nilai hadis ahad , beliau menyatakan bahwa “ Hadis ahad tidak berfaedah kecuali dzon, apabila tidak sampai derajat mutawatir (Fathul Bari, juz 13\hal. 238) dan beliau menambahkan bahwa hadis ahad adalah hujjah dalam masalah hukum ketika menjelaskan sebuah hadis tentang disunnahkan untuk berwudhu’ sekalipun sedang dalam perjalanan (safar) (Lihat Fathu Al-Bari’ juz 1\Hadis No. 200\hal. 308). Adalah hal yang sangat aneh adalah kalau orang yang mencoba menukil pendapat Ibn Hajar sebenarnya adalah orang yang sangat keras mengkritik pendapat Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, mereka menulis beberapa kitab yang isi mengkritik dan memperingatkan umat Islam akan penyimpangan Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, diantara:
- Al-Tanbih ala Al-Mukholalifat Al-Aqidah fi Fath Al-Bari oleh Syeikh Ibn Baz, Syeikh Sholeh Fauzan, Syeikh Abdullah ibn Mani’, Syeikh Abdullah Al-Naiman.
- Al-Akhtho’ Al-Asasiyah fi Al-Aqidah wa tauhid Al-Uluhiyah min kitab Fath Al-Bari bi Syarh Shohih Al-Bukhori oleh Syeikh Abdullah ibn Sa’di Al-Ghomidi.
Akan tetapi yang aneh adalah Syeikh Salim I’ed Al-Hilali kembali menukil pendapat Ibn Hajar dalam kitabnya Al-Adilah wa Asy-Syawahid ala Wujub Al-Akhdzi bi khobar Al-Wahid fi Al-Ahkam wa Al-Aqoid. Baru kali ini terjadi ada sekelompok orang yang memperingatkan penyimpangan Aqidah dari seorang Imam Hadis kepada umat Islam, lalu tetap menukil dan menggunakan pendapatnya dalam masalah Aqidah untuk mempertahankan pendapatnya yang lemah dan dibumbui dengan berbagai dalil yang digunakan tidak pada tempatnya (asal comot saja). Sehingga sunnah yang berasal dari Rasul SAW, Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut tabi’in menyatakan bahwa makna Syar’I yang umum adalah mencakup keseluruhan hukum baik yang berkenaan dengan masalah I’tiqodiyah dan masalah amaliyah seperti hukum wajib, Sunnah, Mubah dll sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Alan dalam Dalil Al-falih Syarh Riyadhus Sholihin ketika beliau menjelaskan hadis “Fa alaikum bi Sunnati” dengan Sunnah-ku yaitu Jalan-ku yang lurus yang berada diatasnya yang aku telah menjelaskan kepada kalian dari hukum-hukum I’tiqod maupun Amal yaitu wajib, sunnah, mubah dll. Sekarang adakah ulama yang tidak menggunakan Istilah I’tiqod dan Amaliyah Furuiyah, sehingga tuduhan penggunaan istilah I’tiqod dan Amaliyah Furuiyah adalah filsafat yang menyusup dalam Islam adalah tuduhan yang mengada-ada, tidak ada dasarnya dan khayalan dari orang yang suka mengkhayal. Coba juga periksa apakah Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menolak pembagian masalah I’tiqod dan Furu’ dalam bukunya Majmu Al-Fatawa-nya yang terkenal itu atau dalam kitabnya yang lain, begitu juga apakah ada bukti yang menunjukkan bahwa Al-hafidz Ibn Hajjar, Al-Hafidz As-Suyuti, Al-Hafidz Al-Khotib Al-Baghdadi, Al-Hafidz Ibn Al-Jauzi, Al-Hafidz Adz-Dzahabi, Al-Hafidz Ibn Hajjar Al-Haitsami, Imam Shon’ani, Imam Nawawi , Imam Ibn Qudamah, Imam Al-Amidi dan para Ulama yang lain dari berbagai disiplin Ilmu Dien di dalam kitab-kitab mereka yang menolak pembagian Itiqod dan Furu’ dalam masalah Dien !?!

Bahkan Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata : ‘’ Bahwa masalah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni ’’. Lalu ia menambahkan : ‘’ Barang siapa menolak Ijma ’’ (konsensus -pent) dalam masalah ini maka telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan ’’ (Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114). Sehingga jelaslah bagi orang-orang yang berakal antara orang yang berpegang dengan Al-Haq dan orang yang mengaku-aku berpegang pada Al-Haq ?!?!

11- Syubhat Kesebelas : Ada pendapat yang menyatakan pembagian hadis menjadi Mutawatir ahad adalah sia-sia karena pada masa Shahabat mereka hanya menyakini apa yang disampaikan dari Rasul SAW tanpa melihat apakah hadis tsb Mutawatir – Ahad ?
Kami menjawab :
1- Pada masa Rasul SAW khobar ahad tidak pernah menjadi topik pembicaraan. Sehingga tidak perlu ada pembagian hadis ahad – mutawatir. Sebab mereka telah mendapat pengajaran langsung dari Rasul SAW tanpa melalui perantara dari orang selain mereka, yakni dari orang yang mendengar hadis langsung dari lisan Rasul SAW atau menyaksikan perbuatannya secara langsung.
2- Orang yang mendengar hadis langsung dari Rasul SAW atau menyaksikan perbuatannya secara langsung, bisa menjadi kafir jika ia menolak sabda Rasul atau menolak kandungan isinya, dengan jalan berdusta atau mengingkarinya. Dalam masalah ini para Ulama tidak berbeda pendapat.
3- Orang yang mendengar dari orang yang mendengar dari Rasul SAW, atau orang yang diberi informasi oleh orang-orang sebelumnya, misalnya tabi’ut tabi’in serta orang-orang setelah mereka, seperti kita saat ini , maka mereka wajib untuk mengkaji mata rantai, transmisi, ataupun silsilah yang menghubungkan dirinya dengan Rasul SAW untuk mengetahui kebenaran mata rantai tersebut. Jika para perawi sebagai perantara dari sebuah hadis terbukti kejujurannya dan kekuatan hafalannya atau bersesuaian dengan riwayat dari perawi terpercaya lainnya, lalu tidak terdapat syadz dan ilaat dalam redaksional hadisnya, maka kita harus menyakini bahwa sumber perkataan dan perbuatan tersebut adalah berasal dari Nabi SAW. Adapun jika trasmisi tersebut tidak dapat dibuktikan keabsahannya, atau tidak absah, maka dengan otomatis harus dilakukan tarjih. Artinya, dugaan bahwa sumber khobar tersebut berasal daari Rasul SAW lebih kuat dibanding dengan dugaan bahwa khobar tersebut tidak berasal dari Nabi SAW.
4- Bahwa Khobar ahad tidak bisa menghasilkan ilmu dan keyakinan merupakan kajian yang dapat dengan mudah difahami oleh orang yang berakal dan telah diketahui secara umum. Akal dapat membedakan antara khobar yang disampaikan kepada kita oleh individu secara perorangan (ahad), dengan khobar yang disampaikan kepada kita oleh sekelompok orang, dimana dengan jumlah tersebut, mustahil bagi mereka untuk menyampaikan berita yang salah, atau sepakat berdusta. Hal ini tidak hanya terbatas dalam masalah syari’at, tetapi juga berlaku umum, baik pada masalah syari’at ataupun masalah lainnya.
5- Pendapat yang menyatakan bahwa khobar ahad tidak dapat menghasilkan ilmu, kepastian , atau keyakinan, merupakan pendapat ulama-ulama yang terkemuka dan para ulama ushul. Baik kholaf maupun salaf. Dan ia bukan pendapat yang menyimpang dari pendapat para ulama salaf dan ulama kholaf. (Lihat kitab-kitab Ushul seperti : Kitab Kasyf Al-Asrar Ala Ushul Al-Fiqh, oleh Imam Al-Bazdawi I/690 ; Al-Mustashfa min ‘Ilm Ushul oleh Imam Ghozali hal. 93; Hasyiyah Nasmaat Al-Asrar ‘Ala Syarh Ifadhaat Al-Anwar oleh Ibn Abidin hal. 195; Syarh Jalal Al-Mihla ‘Ala Jam’I Al-Jawami’ oleh Imam As-Subki II\114; Raudhat Al-Nadzir wa Jannat Al- Munadhir fi Ushul Fiqh oleh Ibn Qudamah Al-Maqdisi I\260; Irsyad Al-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani hal. 42; Al-Talwih als Al-Audhih li Matan Al-Tanqih fi Ushul Al-Fiqh oleh Imam Ubaidillah Al-Bukhori II\3; Ghoyat Al-Wushul Syarh Lubb Al-Ushul fi syarh Mar’at Al-Wushul oleh Imam Mulla Khasru II\204; Muslim Tsubut oleh Ibnu ‘Abd Al-Syukur II\88).
6- Kemudian pendapat sebagian Ahli Hadis bahwa hadis ahad memberi faedah qoth’I merupakan kesalahan penafsiran, karena hal sebenarnya tidak seperti itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ghozali sbb: “ Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka ini tidak berfaedah Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya : ‘’ Adapun pendapat para Ahli hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang wajib untuk diamalkan (dalam masalah hukum furu’iyah –pent) dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang Qoth’I (yang menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” (Lihat Kitab Al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -pent). Lalu Imam Jamaluddin Al-Qosimi menambahkan : “ Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu (yakin)” (Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal. 147-148).

12- Syubhat Keduabelas : Ada sebagian orang berargumentasi bahwa penolakan para sahabat atas ayat al-Qur’an yang diriwayatkan secara ahad adalah untuk persatuan, bukan karena riwayat itu mutawatir !
Kami menjawab : Untuk menjawab tuduhan ini marilah kita menyimak beberapa riwayat yang menjelaskan masalah yang sebenarnya. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Anbary dalam Mashohifnya, dan Al-Hasan ,Ibn Sirrin, dan Zuhri dalam hadis yang panjang tentang pengumpulan Al-Qur’an, dimana Umar ra. menolak khobar dari Hafshoh ra. tentang tambahan lafadz pada Surat Al-Baqoroh ayat 238 karena ia tidak punya saksi (riwayatnya ahad). Begitu pada riwayat Aisyah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatho’ tentang penghapusan ketentuan 10 isapan menjadi 5 isapan yang menyebabkan hubungan mahram, dan riwayat Ubay Ibn Ka’ab ra. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Hakim dan selain keduanya tentang kafarat budak. Riwayat-riwayat ini tidak dicantumkan oleh para Sahabat dalam Mushhaf Imam karena riwayat tersebut adalah Khobar Ahad dan mereka juga telah bersepakat bahwa riwayat-riwayat ini tidak memberi keyakinan yang pasti. Hal ini dipertegas oleh keterangan para ulama dalam menetapkan kriteria dan rukun qira’at yang dapat diterima (Lihat Al-Qira’at Ahkamuha wa Masdaruha oleh DR. Sya’ban Muhammad Ismail , Bab Anwa’a Al-Qira’at) sbb:
1- Sanadnya Mutawatir
2- Sesuai dengan Mushhaf Utsmani, walau hanya tersirat
3- Sesuai dengan salah satu kaedah bahasa arab (Lihat Al-Itqon jilid I\Hal. 129 Oleh Imam As-Suyuti , Penerbit Al-Halabi Kairo).

Persyaratan mutawatir ini adalah pendapat Jumhur Ulama baik ulama Ushuluddin, para imam madzab yang empat, para ahli hadis dan para ahli Qira’at. Mereka semua sepakat bahwa qira’at shohih atau yang diterima adalah qira’at yang mutawatir dan tidak menerima qira’at dengan sanad shohih (gadis ahad –pent) jika tidak mutawatir (Lihat Ghoitsun Naf’I fil Qiraa’at As-Sab’I hal. 9 oleh Imam Ash-Shafaaqasi, penerbit Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra – Kairo). Imam An-Nuwairi menambahkan : ‘’ Meniadakan syarat mutawatir adalah Muhdas (sesuatu yang baru ), bertentangan dengan ijma’ para ahli fiqh, ahli hadis dan yang lain-lain. Sebab Al-Qur’an – menurut jumhur – adalah kalamullah yang diriwayatkan secara mutawatir dan ditulis didalam mushhaf. Semua yang menerima definisi ini pasti memberi syarat mutawatir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Hajib. Sehingga menurut para Imam dam pemuka madzhab syarat mutawatir adalah sebuah keharusan. Mereka yang berpendapat seperti ini antara lain Abu Abdil Barr, Al-Azra’I, Ibn Athiyah, Az-Zarkhasi dan Al-Asnawi. Pendapat yang mensyaratkan mutawatir ini adalah ijma’ para Ahli Qira’at (Lihat Ithafu Fudhola Al-Basysr fi Al-Qira’at Al-Arba’ Asyar hal. 185 oleh Imam Ad-Dimyathi, Penerbit Al-Masyhad Al-Husaini – Kairo). Sehingga sanad yang shohih saja tidak cukup untuk diterimanya sebuah riwayat sebagai bagian dari Al-Qur’an, kalau tidak mencapai sanad Mutawatir. Imam Al-Khotib Al-Baghdadi menjelaskan bahwa riwayat yang mutawatir adalah periwayatan oleh banyak orang, dimana menurut adat, mustahil mereka untuk bersepakat melakukan dusta, mulai awal sanad sampai akhir sanad (Lihat kitab Al-Kifayah fi Al-Ilmi Ar-Riwayah hal. 50 oleh Imam Al-Khotib Al-Baghdadi). Dimana riwayat yang mutawatir ini memberi faedah ilmu (kepastian), dan merupakan dalil pokok untuk membangun Aqidah kaum muslimin. Dan sudah jelas bahwa para Sahabat dan generasi sesudahnya hanya menerima riwayat mutawatir dalam Mushhaf Imam, sedang Al-Qur’an adalah dalil utama dalam membangun keimanan. Bahkan Imam Ibn Al-Jaziri dan Al-Alamah Ibn As-Subki menegaskan : ‘’ Setiap muslim berhak untuk mendapat kasih sayang serta menyakinkan dirinya bahwa yang kami utarakan – tentang mutawatirnya qira’at Asyara’ – benar-benar mutawatir dan telah diketahui dengan yakin dan pasti, tidak ada keraguan dan tidak diragukan lagi (Lihat Kitab Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an jilid I\hal. 46 oleh Al-Hafidz Al-Qurthubi, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Mishriyah – Kairo). Kemudian Imam Al-Zamakhsari, menambahkan : “ Imam Malik Berpendapat barang siapa sholat dengan membaca Qira’at (bacaan –pent) Ibn Mas’ud yang tidak Mutawatir dan tidak termasuk Qira’at Para Shahabat, maka ia telah menyelisihi mushhaf (Mushhaf Imam yang mutawatir-pent) dan janganlah sholat dibelakangnya” (Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an juz I\hal. 222). Wallahu A’lam bi Showab.

KHATIMAH :

Sebagai kata penutup , hendaknya semua pihak yang berbeda pendapat termasuk dalam masalah hukum hadis ahad ini tidak menjadikan perbedaan-perbedaan tersebut sebagai sumber konflik yang berkepanjangan yang ujung-ujungnya akan merusak ikatan ukhuwah yang sedang coba kita rajut saat ini. Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurtubi ketika menjelaskan firman Allah SWT : “ Dan ingatkan ketika Kami memberikan kepada kalian ni’mat persaudaraan, dan melembutkan hati kalian” (Surat Ali Imran - ayat 103). Beliau menyatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan keharaman untuk perbedaan dalam masalah hukum-hukum cabang. Dengan cacatan pendapat-pendapat tersebut memiliki landasan dari sumber hukum Islam yang legal seperti Al-Qur’an, As-Sunnah , Ijma Shohabat dan Qiyas dengan Illat yang Syar’i. Kita bisa melihat bagaimana perilaku para salafus shaleh dalam menyikapi perbedaan yang terjadi diantara mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berikut : “ Kaum Muslimin sepakat mengenai kebolehan sholat sebagian mereka dibelakang yang lainnya. Adalah para Shahabat dan Tabi’in dan generasi sesudah mereka dari Imam yang empat , sholat sebagian dibelakang sebagian yang lainnya. Misalnya Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dan Imam Syafi’i dan selainnya sholat dibelakang imam-imam di Madinah dari Ulama Malikiyah dan mereka tidak membaca bismilah baik dipelankan (sirr) maupun dikeraskan (jahr). Abu Yusuf sholat dibelakang Imam Al-Rasyid yang sedang berbekam. Dan Imam Ahmad memandang keharusan orang yang berbekam untuk wudlu’, kemudian ada seseorang yang bertanya kepadanya: Bagaimana dengan seorang imam sholat yang darinya mengeluarkan darah (sedang berbekam) dan belum berwudlu’, Apakah kita boleh sholat dibelakang mereka ?. Imam Ahmad menjawab: ” Apa yang menghalangimu untuk sholat dibelakang Sa’id Ibn Musayyab dan Imam Malik ?” (Imam Al-Manfur, Fawakihul Adidah\juz 2\hal.171). Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ikhtilaf fiqhiyah harus disikapi dengan akhlakul karimah dan ilmu. Bukan dengan kebencian dan permusuhan yang sangat dilarang dalam Islam (Dr. Thoha Jabir Al-Ulwani, Adab Al-Ikhtilaf\Bab Khotimah). Wallahu A’lam bi Showab .

Mendirikan Partai Politik Islam dalam Mewujudkan Khilafah Islamiyyah adalah ‘’ MASYRU’ ’’ (disyari’atkan oleh Asy-syari’)

Mendirikan Partai Politik Islam dalam Mewujudkan Khilafah Islamiyyah adalah ‘’ MASYRU’ ’’ (disyari’atkan oleh Asy-syari’)
Oleh
Muhammad Lazuardi Al-Jawi

Banyaknya jama’ah / partai pada saat ini yang bermunculan dalam rangka menjawab berbagai permasalahan yang mendera kaum muslimin pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Masing-masing memiliki amir dan metode dakwah serta target tertentu. Mereka antara lain : Al-Muhajirin, HT, IM, Hizbut Da’wah, Jama’ah Islamiyah, Tanzimul Jihad, Front Islam Internasional, Tanzim al-Islami, Jama’ah Tabligh, Parlemen Muslim, Hizbullah, An-Anshar, Partai Islam Inggris, Jama’ah Ihya’ Minhaj al-Sunnah, Kisdi, FIS, Hizbun-Nahdloh, Jama’ah Salafy, Jama’ah Ahlul Hadist, dan sebagainya.
Hal yang perlu diketahui apakah syara’ memperbolehkan untuk membentuk jama’ah/partai di satu tempat, dan apakah seorang Muslim diwajibkan bergabung dan mendukung jama’ah Islam itu. Berikut beberapa pertanyaan yang pasti muncul :
1. Apakah Islam membolehkan keberadaan jama’ah/partai tersebut ?
2. Jika demikian, bagaimana bentuk dan jumlahnya ?
3. Apakah hal itu menguntungkan/merugikan kaum Muslimin ?
4. Apakah persatuan jama’ah-jama’ah itu wajib ?
5. Tidakkah lebih baik mereka jadi satu partai “Hizbullah” daripada banyak jumlah, bukankah tujuan dan ideologinya sama ?

Mereka mengambil pendapat dari firman Allah SWT : “Sesungguhnya partai Allah-lah yang beruntung” (Q.S 58:22) dan “Yakinlah partai Allah-lah yang akan menang” (Q.S 5:56). Kedua dalil di atas selalu dikemukakan saat menjawab masalah ini dan menjadi pengesahan keberadaan jama’ah/partai tersebut.
Salah satu perintah Allah untuk kaum Muslimin di partai manapun mereka bergabung yaitu mewujudkan beberapa kewajiban yang tidak mungkin dilakukan sendirian. Untuk menjawabnya, kaum Muslimin mendirikan jama’ah/partai Islam sebagaimana firman Allah SWT: “Hendaknya ada diantara kalian sebuah jama’ah yang menyerukan kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan merekalah golongan yang beruntung” (Q.S 3:104).
Hukum membentuk partai Islam adalah fardhu kifayah bagi setiap kaum muslim dimanapun berada. Dalam Q.S Ali Imran di atas berisi perintah Allah, bagaimanakah kita tahu perintah itu diwajibkan ?
Para ulama ushul dan para fuqaha seperti Imam Al-Zarkhasy, Al-Ghazali, Al-Amidi, As-Syatibi, An-Nawawi, As-Shirazi, Al-Asnawi, dan lain-lain, menyatakan bahwa perintah tidak selalu menunjukkan kewajiban, mungkin hanya berupa anjuran. Untuk mewajibkan suatu anjuran maka diperlukan adanya qorinah/petunjuk syari’ah, jika tidak maka tetap menjadi anjuran saja. Hal ini dikarenakan bahasa Arab asalnya adalah bahasa perintah dan anjuran untuk mengerjakan/tidak mengerjakan. Banyak teks syara’ yang datang dalam bentuk kalimat perintah dalam dua bentuk, tekstual dan kontekstual. Contohnya Allah berfirman :
“Makan dan minumlah …” (Q.S 2:187)
“Dan jika telah selesai shalat, berbaurlah .” (Q.S 62:10)
Banyak ayat Al-Qur’an datang dengan bentuk kalimat perintah. Contoh lain dari Rasulullah SAW yang bersabda :
“Kita diperintahkan untuk menyempurnakan wudlu.” (HR Abu Dawud).
“Tuhanku memerintahkan aku untuk merapikan jenggotku dengan tanganku.” (HR Ahmad).
Banyak lagi contoh yang berisi anjuran umtuk melakukan sesuatu, contohnya adalah hukum berburu tidaklah wajib hanya karena nash tsb datang berbentuk kalimat perintah. Perintah tentang ‘makan’, ‘minum’, ‘berbaur’, juga bukan merupakan kewajiban. Dan juga menyempurnakan wudlu, merapikan jenggot, tidak wajib meski memakai kalimat “Tuhanku memerintahkan aku dan kita diperintahkan”. Jadi anjuran tetap anjuran kecuali ada qorinah yang menjadikan sunnah atau wajib.
Jika indikasinya tidak pasti, maka anjuran itu hanya menjadi sunnah. Contohnya: bertasbih setiap selesai shalat. Dan jika indikasinya pasti maka hukum anjuran itu wajib. Contoh : berpuasa Ramadhan. Jika tidak ada indikasi tersebut maka anjuran itu mubah, sebagaimana firman Allah SWT : “berburulah”.
Sedangkan Q.S Ali Imran: 104 menyatakan kewajiban bagi setiap muslim di manapun ia berada untuk membentuk jama’ah/gerakan kapanpun dibutuhkan oleh Islam untuk memenuhi kewajiban yang telah Allah bebankan kepada jama’ah.
Ada 6 faktor yang menjadikan ayat di atas berfaedah pasti (wajib) :
1. “Wal-takun” berarti : “hendaknya ada”. Kalimat pertama (و) / wawu menunjukkan adanya perintah. Ada 3 tipe wawu dalam Ushul fiqih yang mengindikasikan ‘ilm al-qara’in. Sedang wawu di atas diketahui sebagai wawu ataf (penghubung). Sebabnya ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya “…dan berpegang teguhlah di bawah tali (agama) Allah dan jangan berpecah belah…”(Q.S 3:103). Huruf ‘wawu’ menunjukkan hukum yang sama, nilai/beban hukumnya sama dengan yang pertama. Dan karena ayat itu di alamatkan pada jama’ah, dan diikuti perintah untuk bersatu, ini menunjukkan wajibnya membentuk suatu jama’ah karena perintahnya adalah wajib.
2. Kata ‘min’ (diantara kamu), menekankan kedudukan anjuran itu, karena mengindikasikan agar dikerjakan kapanpun diminta dan dimanapun berada.
3- Shighta Amr (yang menggunakan fi’il mudhari’ dengan menggunakan lam amar) : “waltakun minkum umat’’. Ayat ini merupakan perintah kepada sesuatu yang diwajibkan, sehingga ia merupakan qorinah (indikasi) bahwa perintah tersenut adalah wajib. Sedangkan lafadz “minkum umat’’ barati jama’ah diantara kalian, sementara seluruh kaum muslimin adalah satu jama’ah (sebagaiman yang dinyatakan oleh Allah dengan firman-Nya) : ‘’kuntum khoru umat’’, maka ini menujukkan bahwa jama’ah yang merupakan jama’ah umat ini adalah jama’ah tertentu. Sementara itu Allah menyifati jama’ah itu dengan sifat “yad’un ilal khoir’’, menunjukkan bahwa yang diperintahkan untuk membentuk kelompok tertentu yang memiliki sifat tertentu pula. Kemudian Allah SWT-pun mensifati mereka sebagai : (uulaaika humul muflihun) ya’ni almunjihuna ‘indallahi al-baquuna fi janaatihi wa na’iimihi “. Imam Ath-Thabari menjelaskan maksud (Orang yang beruntung…) yaitu ‘’kelompok yang selamat (dari siksa api neraka) disisi Allah SWT, kelompok yang kekal (dengan menetap) disurga-Nya dan mendapat kenikmatan (didalamnya)’’ . Ketika Allah memberi pahala amal ini dengan balasan surga dan kenikmatan didalamnya, maka anjuran ini tidak sekedar berfaedah ‘mubah’ tapi adalah wajib. Oleh karena itu jika ‘mafhum mukhalafah’ (makna kebalikan) diambil, berarti mereka yang tidak melaksanakannya saat diminta, maka mereka berdosa karenanya.
4- Salah satu satu tugas jama’ah di dalam ayat itu adalah mengajak umat kepada hukum dan ajaran Islam, serta mengajak orang–orang non-muslim kepada Islam dan kewajiban ini berlaku bagi setiap muslim.
5- Jama’ah harus menyerukan yang ma’ruf (kebaikan/kewajiban) dan melarang yang munkar dan kewajiban ini berlaku untuk semua muslim sebagaimana telah diketahui.
6- Allah SWT berfirman : “Merekalah kelompok yang beruntung”. Ketika Allah memberi pahala amal ini, maka anjuran ini tidak sekedar berfaedah mubah. Karena membawa makna kebalikan (mafhum mukhalafah), berarti yang tidak melaksanakannya saat diminta adalah berdosa.

 Makna ‘umat’ dalam bahasa Arab :
“Kelompok, walidah/ibu, lelaki sholeh, kumpulan binatang sejenis, sinonim generasi, tauhid, waktu, lelaki tinggi, wajah tampan, hal/situasi (Q.S 43:22), Al-Shain/peduli (16:92), hai’ah/bentuk (16:92), Ad-Din (21:92), Al-Hin/waktu (12:45), komunitas muslim sedunia (masyarakat yang diikat bersama dalam satu keyakinan ) (Q.S 2:43), jama’ah (28:23),taat.
Kata ‘umat’ biasanya berarti seluruh kaum muslimin. Sedangkan makna umat dalam ayat ini secara lebih spesifik menurut para Ulama tafsir adalah sbb :
a- Imam Al-Qurthubi memberikan definisi ( أمة ) dalam tafsir ‘Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an’, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu aqidah. Tetapi Q.S 3:104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (diantara kalian). Dalam bahasa Arab kata “minkum” tak bisa dipakai kecuali semuanya dinyatakan terlebih dahulu. ”Kalian semua” disebutkan ayat sebelumnya :”Berpegang teguhlah (kalian semua) …”, maka ayat ini pengganti semua/minkum pada kelanjutan ayat berikutnya. Sehingga makna umat dalam ayat-ayat ini tidak selalu sama.
b- Imam Abu Bakar Ibnu Al-‘Arabi dalam bukunya Ahkamul Qur’an : “Sesungguhnya umat di sini berarti jama’ah/kelompok.”
c- Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim menyatakan :
“Wal takum minkum umat : muntashabatun lil qiyamu bi amrillahi fid da’wati ilal khoiri wal amri bil ma’rufi wa nahyi ‘anil mungkari……”
“Ayat ini berarti (haruslah ada dari umat satu kelompok) yang diangkat untuk melaksanakan perintah Allah untuk berdakwah untuk Islam, menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”. Dan Al-Dahhaq berkata :” mereka adalah sekelompok para sahabat dan dari ulama lain, berarti sekelompok orang dari para mujahidin dan ulama”.
d- Dan Ibnu Hatim meriwayatkan dari seorang Tabi’in bernama Mukatil Ibnu Hayyan bahwa maksud dari ayat ‘’hendaknya ada ……’’ :
Akhraja Ibn Abi Ahtim ‘an Muqatil Ibn Hayyan fi qaulihi (Wal takum minkum umat) Liyakuna minkum qaumun ya’ni wahidan aw itsnaini aw tsalatsah nafarin
‘’Hendaknya ada diantara kalian , sekelompok kaum yaitu satu, dua dan tiga kelompok ……… ‘’.
e- Kitab Fath Al-Qadir (jilid 1, hal 370) Imam Shaukani dan Imam Al-Kiyya Al-Haras (w. 504 H) dalam Kitab Ahkam Al-Qur’an (jilid 2, hal 62) dalam komentarnya : “Hendaknya ada … al khair …”, berarti fardlu kifayah untuk membentuk kelompok itu.
f- Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya Al-Tanzil wa Asrar Al-Tawil, tentang arti ayat ini : ” Min, di sini ditujukan pada kelompok tertentu, karena dakwah pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dengan kondisi dan syarat tertentu tidak mungkin dilakukanseluruh kaum muslimin, seperti kewajibanmemahami syari’at dan caranya. Ini adalah sebab mengapa Allah SWT menujukan pada setiap muslim di awal ayat dan memerintahkan dari antara mereka sebagiannya. Jadi ada batas kewajiban ini, jika ditinggalkan maka seluruh kaum muslimin berdosa, tapi jika telah ada satu jama’ah yang memenuhi seruan itu akan diringankan dosa itu”.
g- Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam dalam tafsir dan fiqh , berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan, tentang arti ayat itu yakni : ‘’ (Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun ‘’.
Artinya : “Hendaknya ada diantaramu (wahai orang-orang beriman) umat) yaitu jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”.
h- Diriwayatkan dari kitab Jami’ Al-Bayan (jilid 3, bab 4, hal 26) bahwa Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jurair At-Tabari kembali (W. 310 H) berkata : “…, ini berarti seruan pada Islam dan ajarannya (sistem), yang diturunkan kepada manusia dan perintah-Nya untuk mengikuti agama yang dibawa Muhammad sebagai utusan-Nya dan perintah nahi mungkar, memerangi kekufuran dan penyimpangan atau penolakan pada agama Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW.
h- Imam Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar “arti kata umat di sini adalah sekelompok orang yang terjadi atas individu yang bersatu dalam satu ikatan bagaikan satu tubuh dalam bertindak”.

Sehingga umat disini dapat berarti jama’ah atau partai, sebagaimana penjelasan berikut :
 Jama’ah dalam perspektif bahasa berarti partai atau maknanya yang mirip. Tetapi partai adalah lebih spesifik dari jama’ah. Ciri dari partai yaitu terikatnya seluruh anggota pada sebuah ideologinya (satu) dan satu tujuan yang menyatukan mereka, partai itu meliputi seorang, dengan para pengikutnya, ataum orang-orang yang seide dan mempunyai satu metode.
 Dalam Fairuz Al-Abadis Al-Qamus Al-Muhit, disebutkan : “sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang, dengan pengikut dan pendukung yang punya satu pandangan dan satu nilai’’..
 Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang setujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
 Imam Muhammad Abduh dalam kitab tafsirnya ‘Al-Manar’, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata : ‘’ Yang diseru dari ayat ini adalah seluruh kaum muslimin. Merekalah yang diberi tanggung jawab untuk memilih ‘umat’ yang melakukan kewajiban ini. Disini ada du metode, yang pertama berlaku untuk seluruh kaum muslimin, sedangkan yang kedua berlaku bagi umat yang mereka pilih untuk mengemban dakwah. Makna itu tidak dapat difahami dengan tepat kecuali dengan memahami makna kata ‘umat’. Sedangkan makna umat itu bukanlah jama’ah seperti yang dikatakan banyak orang. Sebab, jika tidak maka kata tersebut tidak akan dipilih. Yang tepat, adalah makna kata ‘umat’ lebih khusus dari pada makna umat. Oleh karena itu , ‘umat’ ini merupakan jama’ah yang terbentuk dari individu-individu yang memilki ikatan yang dapat menyatukan mereka, serta merupakan kesatuan yang menyatukan mereka sebagi anggota dalam sebuiah kesatuan manusia ‘’.

 Yad’una : berarti menyeru atau mengajak ( yaitu da’wah)

 Sedangkan makna Al-khair menurut para sahabat, tabi’n, tabi’ut tabi’in dan para Ulama adalah sbb :
a. Diriwayatkan dari kitab Jami’ Al-Bayan )jilid 3, bab 4, hal 26) bahwa Imam Abu Ja’far At-Tabari :’’(Yad’una) An-Nasa (ilal khoir) ya’ni ilal islami wa syara’I’ihi al-lati syara’ahallahu li’ibadiihi’’.
Artinya : ‘’ (mereka) (Menyeru) manusia kepada (Al-Khair) yaitu kepada Islam dan syari’at-Nya yang telah Allah SWT syari’atkan kepada hamba-Nya ‘’.
b. Kitab Fath Al-Qadir (jilid 1, hal 370) Imam Shaukani dalam komentarnya : “Hendaknya ada … al khair …”, berarti fardlu kifayah untuk membentuk kelompok itu dan Ibnu Hatim meriwayatkan dari Al-Imam Mukatil Ibnu Hayyan (Seorang Tabi’in Ahli Tafsir) :
‘’(Yad’una ilal khoir) qola ilal islami, (wa ya’muruna bil ma’rufi) bi tho’ati rabbihim, (wa yanhauna ‘anil mungkari) ‘an ma’siyati rabbihim ..’’
(hendaknya mengajak pada Al-Khair) ia berkata (yaitu Mukatil Ibn Hayyan) adalah menyeru pada Islam, (mengajak pada yang ma’ruf) berarti mengajak untuk mentaati Allah dan (mencegah yang munkar) berarti mengajak agar tidak melanggar perintah-Nya.
Qola Ibn hatim ‘an Ibn LAila : (Al-Khoir) ya’ni al-Islam
Ibnu Hatim dari Abu Laila bahwa dia berkata Al-Khair di ayat ini berarti Islam.


c. Imam Shihab Al-Din Al-‘alussi Al-Baghdadi dalam Ruh Al-Ma’ani berkata “… ( Wal takun minkum ummatun Yad’uuna ilal Khoir ) tsuma qola al-khoiru hiya ittiba’ul qur’ani was sunnati..’’.
hendaklah …Al-Khair… “, lalu ia berkata (Imam Al-Alusi) berarti mengajak manusia untuk mengikuti Al-Qur’an dan Sunnahku.
d. Kitab Ahkam Al-Qur’an (jilid 2, hal 62) Imam Al-Kiyya Al-Haras (w. 504 H) berkata : … Al-Khair …”, berarti fardlu kifayah adanya jama’ah yang menyeru pada Islam dan mengoreksi kesalahan kesalahan agama.
e. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (jilid 1, bab 4, hal 398) :“ Hendaknya ada … Al-Khair : ‘’Al-Maqsudu min hadzihil ayati in takuna firqatun min hadzihil umati mutashodiyatan li hadzal sya’ni wa an kana dzalika wajiban ‘ala kulli fardin minal ayati bihasbihi kama tsabata fi shohih muslim an abi hurairah qola, qola rasulullah SAW man raa minkum mungkaran fal yughayir bi yadihi, failam tastati’ fa bilisanihi, failam tastati’ fa qolbihi wa dzalika adh’aful iman …”
Artinya : ‘’ berarti Allah memerintahkan adanya suatu jama’ah dari umat ini (yaitu umat Islam) yang melakukan pekerjaan ini (membawa da’wah Islam) dan hal ini adalah kewajiban bagi individu umat ini berdasarkan hadis shahih dari Imam Muslim dari Abu Hurairah ra. : ‘Barangsiapa melihat kemungkaran hendak ia merubahnya dengan tanganya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman……) ‘’.
Dan dari Ali Mirdawih dari Abu Ja’far Al-Bakar bahwa Nabi SAW bersabda “Hendaknya ada … Al-Khair …”, berarti menyeru pada Al Qur’an dan Sunah.
f. Imam Nasafi dalam tafsir An-Nasafi yang berisi tafsir Ibnu Abbas : mengajak pada Al-Khair berarti da’wah untuk Islam dan Imam Ali juga berkata : “Al-Khair adalah keseluruhan agama “.
h- Imam Ahmad Mustafa al-Maraghy dalam tafsir al-Maraghy menyatakan :
Maksudnya : waltakun minkum thooifatun mutamayyizah taquumu bid da’wati wal amru bil ma’rufi wan nahy ‘anil munkari.
Artinya : “Hendaknya ada diantara kalian kelompok tertentu yang menegakkan dakwah menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar “.
Dan yang dikenai khitab dalam ayat ini adalah mereka kaum mukminin seluruhnya yang mukallaf menurut kemampuannya .
Dan beliau mengisyaratkan bahwa kewajiban ini asalnya diperuntukkan bagi seluruh kaum muslimin sesuai dengan kemampuannya . Dan pada hakekatnya tidak ada kewajiban yang berasal dari Allah SWT yang tidak dapat dilakukan oelh hambanya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibn Hazm rahimahullah (kitab Al-Muhalla jilid 1\hal. 68), beliau berkata sbb :“Wa Kulu Fardhin kalafahullahu ta’ala al-insana fain qadara ‘alaihi lazamahu” .
Yang artinya: “ Seluruh kewajiban yang telah Allah bebankan kepada Umat Manusia, maka (pada dasarnya) jika mereka mampu (untuk menunaikannya) maka ia wajib menunaikannya ”. Dan inilah karakter dasar dari syari’atnya Allah SWT. “ Beliau (Imam Al-Maraghy) memberikan persyaratan bagi ummat da’wah ini sebagai berikut :
1) haruslah ‘alim tentang al-Qur’an dan as-Sunnah serta sirah nabi beserta para khulafaur rasyidinnya.
2) haruslah mengetahui tentang keadaan obyek yang akan didakwahi/dinasehati, keadaannya, kesiapannya, tabiat dan akhlaknya, yaitu dengan kata lain mengetahui keadaan (sikon) masyarakat.
3) haruslah faham dengan bahasa ummat yang hendak didakwahinya.
4) mengenal milal wan nihal wa madzahibil umam (agama-agama dan sekte-sekte serta madzhab-madzhab ummat), agar mempermudahnya dalam mengenal kebathilan “.
Imam Al-maraghi mengisyaratkan bahwa kelompok atau harokah dakwah yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, haruslah melakukan tastqif (pembinaan) kepada para anggotanya sehingga mereka mmemiliki Syakhsiyah Islamiyah mutamayizzah (kepribadian Islam yang istimewa) yang ditunjukkan dengan pola fakir dan pola jiwa yang Islami. Seseorang dikatakan memiliki pola fikir yang Islami jika ia senantiasa menggunakan aqidah islam sebagai landasannya baginya untuk berfikir dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang ia hadapi. Kemudian seseorang dikatakan memiliki pola jiwa yang Islami jika ia senantiasa menggunakan standar halal dan haram sebagai satu-satunya standar yang mengikat setiap aktivitas yang ia lakukan. Dan ia juga harus mengikuti thoriqah dakwah Rasul SAW dengan mengkaji sirah dakwah beliau sebagai referensi utama mereka dalam berdakwah.

i- Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab At-Takattul Al-Hizby dari nashrah yang berisi penjelasan tentang struktur partai disebutkan :
• Poin 1 kita harus membedakan da’wah pada Islam dan da’wah untuk melanjutkan kehidupan Islam, keduanya adalah wajib. Da’wah pada Islam berarti mengajak orang non Islam untuk memeluk Islam, metode praktisnya dengan menunjukkan kebenaran Islam dan mengoreksi kepercayaannya untuk mematuhi hukum Islam.
• Poin 9 : “Allah berfirman ‘Hendaklah ada …Al-Khair…,dari ayat ini maka wajib bagi kaum muslimin dalam suatu negara untuk melakukan dua hal : mengajak umat untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya serta wajib bergabung dengan jama’ah yang berdakwah pada Islam. Ayat ini tak akan terlaksana seluruhnya sampai adanya Daulah Islamiyah berdiri.
 (wa) ya’muruna : berarti perintah (‘amr). Inilah kewajiban berjama’ah bukan hanya berbuat ma’ruf saja, tapi sesuatu yang diperintahkan.
 (Bi) Al-Ma’ruf : berarti kebaikan, yaitu mengajak kebaikan yang ditinggalkan umat. Dan tidak ada negara Islam maka jama’ah tak mungkin mengajak berjihad (secara ofensif) .
 Al-Ma’ruf : berasal dari kata ‘arafa’ yaitu perintah Allah untuk mengerjakan sesuatu. Kebaikan terbesar adalah mengembalikan kejayaan Islam (Izhar-Al-Diin) yaitu dengan melangsungkan kembali kehidupan Islam yaitu menerapkan seluruh hukum Islam dalam kehidupan kaum muslimin tanpa terkecuali. Penerapan seluruh hukum Islam tidak akan terjadi tanpa adanya daulah khilafah, Jadi khilafah adalah syarat dari kejayaan Islam. Sebagaimana dijelaskan Imam Abu Ja’far At-Tabari (W. 310 H), beliau berkata tatkala menafsirkan lafadz : ‘’(Ya’muruna bil ma’ruf ) ‘’yaqulu Ya’muruna an-nasa bi itiba’i muhamadin SAW wa dinihi al-ladzi jaa bihi min ‘indillahi’’ (Yanhauna anil mungkar) ‘’ya’ni yanhauna ‘anil kufri billahi wa takdzibi bi muhamadin wa bimam jaa bihi min ‘indillahi bi jihadihim bil aidii wal jawarihi hatta yanqaduu lakum bith tho’ati‘’. Artinya : “)menyeru kepada yang ma’ruf), ini berarti menyeru manusia kepada Islam dengan mengikuti Muhammad SAW dan agama (yaitu risalah yang ia bawa) yang datang dari Allah SWTdan (mencegah dari yang mungkar) yaitu mencegah mereka dari mengkufuri Allah SWT dan mendustakan Muhammad dan Syari’at yang datang dari sisi Allah SWT, sehingga dapat membimbing kalian untuk taat ‘’.

 (Wa) Yanhauna : melarang kemungkaran
 (‘An) Al-Munkar : berati jahat atau buruk, jama’ah harus melarang atau mencegah kemungkaran ditengah-tengah masyarakat (mereka). Kemungkaran terbesar adalah kufur pada (hukum) Allah atau syirik. Bentuk dari mencegah kemungkaran terbesar adalah dengan menghilangkannya. Menghapus kekufuran adalah sesuatu yang diprioritaskan, Nabi SAW bersabda “ Apapun yang saya larang untuk kalian maka jauhilah dan apapun yang saya perintahkan untuk kalian lakukan maka kerjakanlah semampu kalian” (HR- Imam Bukhori , Imam Muslim dan Imam Tirmidzi). Kemudian Syeikh Ishom Amirah (Khatib Masjid Al-Aqsa) dalam makalahnya yang beliau sampaikan di Univeristas An-Najah di kota Nablus --- Palestina tentang keruntuhan Daulah Khilafah sbb: “ Sungguh keruntuhan Daulah Khilafah telah membawa pada penolakan berbagai hukum Islam dan terhentinya banyak aktivitas yang dituntut untuk dilaksanakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sbb. : Yang artinya : “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu “ (Surat Al-Maidah - ayat 49). Hal ini saja sudah cukup untuk memberikan isyarat akan kemurkaan Allah SWT kepada kita, dan karenanya ia seakan-akan telah menyiapkan Malaikat Adzab untuk menyambar kita, serta menyiapkan neraka jahannam bagi tempat tinggal kita, karena banyaknya dosa yang telah kita lakukan. Disebabkan dengan keruntuhan Institusi ini telah membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkaran yang dilakukan baik oleh orang-orang kafir maupun kaum muslimin itu sendiri. Orang-orang kafir itu mengusai dan menjajah negeri-negeri kaum muslimin. Serta membunuh jiwa, menjarah harta kekayaan mereka dan merampas hak dan kehormatannya. Laksana binatang ternak yang disantap oleh srigala karena ia tidak dijaga oleh penggembalanya. Sedangkan kaum muslimin ditimpa oleh berbagai kerusakan karena tidak mau mengambil syariat Islam, seperti hukum Had, Qishos, Ta’zir dan lain sebagainya “.

 Faedah hukum yang terkandung dalam hadis-hadis ini adalah :
- menjauhi larangan, melaksanakan perintah,
- menghapus kemungkaran harus dilakukan tanpa henti (hukum kufur yang diterapkan pada umat)
- mendirikan Khilafah merupakan amal jama’I
- mendirikan Khilafah adalah kewajiban jama’ah sebagai kewajiban asasi, dari berbagai kewajiban yang ada dan akan berubah statusnya menjadi fardu ‘ain jika jama’ah tersebut belum berhasil juga.
- Jama’ah harus mengganti hukum kufur di negeri-negeri kaum muslimin. Mengangkat Khalifah harus dilakukan secepatnya tidak boleh dilakukan asal-asalan.
- Fardlu kifayah tentu punya batas waktu, sehingga tiap orang dibebani kewajiban mengangkat seorang Khalifah tapi tak ada dosa jika ada sebuah jama’ah yang berusaha mewujudkannya tetapi belum berhasil (khusus bagi orang-orang yang telah bersungguh-sungguh untuk mewujudkannya).
- Jika belum berhasil juga maka hukumnya menjadi fardlu ‘ain yang berarti setiap orang diberi beban dan berdosa bagi yang berdiam diri saja.
- Maka wajib bagi setiap muslim untuk berusaha mendirikan Khilafah Islamiyyah (bukti dalil setelah ini)*

Kewajiban bergabung dengan partai Islam Ideologis untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah
Untuk membahas masalah ini, terlebih dahulu kita harus mengkaji pendapat Para Ulama tentang status hukum Menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah bagi seluruh kaum muslimin, sbb :
1- Imam Al-Mawardi menyatakan :‘’Wa ‘aqodaha liman yaqumu biha fil umati wajibun bil ijma’i’’.
‘’ Mengadakan akad Imamah (khalifah) bagi orang yang menegakkannya ditengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijma Shahabat’’ (Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah hal. 5).
2- Imam Abu Ya’la Al-Farra’ dalam Al-Ahkamul As-Shulthoniyah hal. 19 menyatakan : ‘’Nishbatul imami wajibatun, Qola imam Al-Ahmad ‘an Muhammad ibn ‘auf ibn Sufyan al-Hamshi : al-fitnatu idza lam yakun imamun yaqumu bi amril nasi, wa huwa fardhun ‘ala kifayatin‘’
‘’ mengangkat seorang Imam adalah wajib. Imam Ahmad r.a , menurut riwayat Muhammad ibn ‘auf ibn Sufyan al-Hamshi, telah berkata : ‘’Akan terjadi fitnah jika sampai tidak ada Imam (khalifah) yang mengatur urusan rakyat’’ ) Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah hal. 23).
3- Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam Siyasah Syar’iyah hal. 161, menyatakan :
‘’Fal Wajibu itakhadzul imarati dinan wa qurbatan yataqarabu biha ilallahi : Fainat taqaruba ilaihi fiiha bi tho’atihi wa tho’ati rasulihi min afdholil qurubati’’.
‘’ Upaya menjadikan kepemimpinan (Khilafah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk ber-Taqarub kepada Allah adalah sebuah kewajiban. Taqarrub kepadanya dalam kepemimpinan itu, yaitu dengan menaati Allah dan Rasul-Nya, termasuk kedalam taqarrub yang paling utama’’.
4- Imam Ibn Hazm dalam Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwa’ wa An-Nihal (juz 4, hal. 87) dan Imam Al-Qurthubi, dalam tafsirnya (juz 1, hal. 264) telah menyatakan : ‘’ Seluruh kalangan Ahlu Sunnah, Murji’ah, Syi’ah dan Khawarij telah sepakat tentang kewajiban adanya Imamah (Khilafah). Mereka juga telah sepakat bahwa Umat Islam wajib mentaati seorang Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari’at yang dibawa oleh Rasulullah. Hanya kelompok An-Najdat dari kalangan Khawarij yang menyatakan bahwa kewajiban Imamah tidak mengikat manusia. Manusia, menurut mereka, hanya berkewajiban untuk menunaikan hak dan kewajiban di antara mereka’’.
5- Imam Al-Iji’ dalam Al-Mawaqif dan pensyarahnya Imam Al-Jurjani’ menyatakan demikian ; ‘’ Sesungguhnya telah diriwayatkan secara Mutawatir ij’ma kaum muslimin pada generasi pertama setelah wafatnya Nabi SAW yang menyatakan bahwa zaman tidak boleh kosong dari seorang Imam (Khalifah). Oleh karena itu, Abu Bakar r.a dalam khutbahnya yang termashur saat wafatnya Rasul SAW, berkata : ‘’ Perhatikanlah, sesungguhnya Muhammad telah wafat, sementara agama ini, tidak boleh tidak, harus ada yang menegakkannya’’.
6- Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juz 12, hal. 205 menyatakan : ‘’Bahwa para Imam Madzab telah sepakat bahwa kaum muslimin wajib mengangkat seorang khalifah’’.
7- Imam Al-Jurjani menyatakan : ‘’Mengangkat seorang khalifah termasuk kedalam kemaslahatan terpenting kaum muslimin dan tujuan agama yang terbesar’’.

Oleh karena itu Imam Asy- Syatibi ketika membahas hukum fardhu kifayah seperti hukum mengangkat seorang Khalifah, wali atau hakim dll, beliau menyatakan : “tuntutan ini ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan fardhu yang diperintahkan itu (Kitab Al-Muwafaqot jilid 1\hal. 119).
Beliau juga beranggapan bahwa pelaksanaan fardhu seperti itu adalah upaya kemaslahatan umum yang dieprintahkan kepada seluruh kaum muslimin untuk melaksanakannya, sebagaimana uraian berikut : “Ada sebagian kaum muslimin yang mampu untuk melaksanakan fardhu kifayah tanpa perlu menunggu yang lain. Sebagian lagi, walaupun belum mampu untuk mewujudkan \mengangkat orang yang mampu. Jadi siapapun yang yang merasa mampu untuk menduduki salah satu jabatan pemerintahan, maka dia dituntut untuk bias mewujudkannya. Sedangkan yang dia tidak mampu mendudukinya, maka dia dituntut untuk melaksanakan perintah yang lain yaitu mewujudkan orang yang mampu mendudukinya dan memaksa mereka untuk melakukannya. Jadi yang mampu diperintahkan untuk melaksanakan yang fardhu, sedangkan yang tidak mampu maka diperintahkan untuk mewujudkan orang yang mampu, sebab tidak dapat dicapai tujuan tadi (yaitu terwujudnya orang yang mampu menduduki jabatan itu) kecuali dengan memilih mereka, dan ini termasuk sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan yang wajib maka hukumnya juga menjadi wajib (Kitab Al-Muwafaqot jilid 1\hal. 121).
Oleh karena itu pihak penguasa dan militer yang mampu untuk merubah sistem perintahan dinegerinya menjadi sistem khilafah maka mereka dituntut untuk melaksanakan kefardhuan ini lebih dulu dari yang lain. Sedang bagi yang kemampuan yang lebih rendah dari mereka, spt para menteri, anggota parlemen, para hakim maka beban kewajiban mereka berada dibawah pihak penguasa dan militer. Adapun umat saat ini walaupun mereka ‘kesulitan’ untuk mengangkat dan memba’iat seorang Khalifah, maka syara’ tetap mewajibkan kepada mereka untuk membentuk sebuah partai yang memiliki kemampuan untuk menegakkan institusi khilafan dan memba’iat seorang Khilafah. Dan umat harus berjuang bersama partai politik islam tersebut hingga tercapai janji Allah dengan tegaknya institusi khilafah ala minhaj an-nubuwah.
Menegakkan khilafah adalah tugas yang luar biasa berat, karena hanya dengan tegaknya Khilafah-lah, maka seluruh hukum Allah SWT yang diwajibkan bagi umat Islam dapat diterapkan dan ditegakkan. Sedangkan hokum ber gabung dengan partai politik Islam yang berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah, terkait dengan status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah. Dimana status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seoorang Khalifah adalah fardhu kifayah. Sehingga hukum untuk bergabung dengan partai politik Islam yang berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah dengan menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah juga. Dan perlu dicatat ada kalanya status fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in, tetapi tidak sebaliknya. Seperti pada kasus perawatan jenazah (mulai memandikan, mengkafani, mesholati dan menguburkan) harus dilakukan oleh sekelompok orang, dan yang ada pada saat itu hanya satu orang saja (dan ia tidak mampu melakukannya sendirian) maka hukumnya berubah menjadi fardhu a’in bagi seluruh orang yang tinggal ditempat itu untuk merawat jenazah itu ,dan status fardhu a’in itu tidak akan gugur kecuali mereka semua dengan sempurna menunaikan pelaksanaan perawatan jenazah itu (mulai memandikan, mengkafani, mesholati dan menguburkan). Berkaitan dengan hal ini Imam Syamsudin Al-Mahalli berkata : “ dapat terjadi status fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in, yaitu bila hanya da satu orang saja yang dapat melakukan itu, seperti disuatu daerah tdk ada dokter kecuali satu orang, maka menolong orang sakit didaerah itu menjadi wajib baginya” (Kitab Syarah Matan Jam’il Jawami’ jilid 1\hal. 133). Begitu pula Imam Ibn Taimiyah saat mebahas amar ma’ruf dan nahi mungkar menyatakan : “Hukum aktifitas tersebut adalah wajib bagi kaum muslimin yang memiliki kemampuan dan statusnya dalah fardhu kifayah. Namun fardhu kifayah dapat berubah menjadi fardhu a’in atas orang-orang yang mampu (lainnya) jika kewajiban itu belum dilaksanakan oleh orang yang lain (Kitab Majmu’ul Fatawa jilid 28\hal. 65). Jadi jelaslah sekalipun status awal status hukum untuk menegakkan khilafah dan memba’iat seorang Khalifah adalah fardhu kifayah. Jika fakta menunjukkan bahwa gerakan Islam yang berusaha untuk menegakkanya belum memadai, maka statusnya berubah menjadi fardhu a’in. Maka hukumnya menjadi fardhu a’in bagi seluruh kaum muslimin untuk bergabung dengan partai politik Islam tadi sehingga mereka mampu menunaikan menegakkan khilafah dan memba’iat seoorang Khalifah. Walhasil, setiap muslim yang melalaikan kewajiban ini akan berdosa jika partai politik Islam itu belum berhasil menegakkan khilafah.
Tugas dan aktifitas utama dari partai politik Islam adalah berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh hukum Allah dengan menegakkan khilafah dan memerangi seluruh sistem kufur yang diterapkan di sebagian besar negeri-negeri kaum muslimin, sekaligus menasehati dan mengoreksi para pengusanya yang menjadi antek dan agen para penjajah Kafir untuk menajajh neger-negeri kaum muslimin dan menerapkan hukum-hukum ‘kufur’ buatan manusia ditengah-tengah mereka. Sebagaiman dijelaskan oleh Imam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jurair At-Tabari (W. 310 H) ketika menafsirkan surat Ali Imron - 103 : “…, ini berarti seruan pada Islam dan ajarannya (sistem), yang diturunkan kepada manusia dan perintah-Nya untuk mengikuti agama yang dibawa Muhammad sebagai utusan-Nya dan perintah nahi mungkar, memerangi kekufuran dan penyimpangan atau penolakan pada agama Allah SWT dan Sunnah Nabi SAW ‘’.
Oleh karena itu saya ingin menutup bahasan ini dengan menukil penjelasan itu Syeikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menegaskan dalam bukunya Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 160-161 dan Majmu Al-Fatawa jilid 28\hal. 320 tentang pentingnya masalah kepemimpinan dalam Islam dan Institusi Khilafah yang merealisasikan penerapan syari’at Islam secara kaffah sbb :
‘’Lianallaha ta’ala aujabal amra bil ma’rufi wan nahya anil mungkar wa la yatimu dzalika ila bi quwwatin wa imaratin. Wa kadzalika sairul ma aujabahu minal jihadi wal adli wa iqamatil hajji wal juma’I wal a’yadi wa nashril madzlumi, wa iqamatil hududi la yatimu ila bil quwwati wal imarati, li hadza ruwiya : “Innas sulthana dzilullahi fil ardhi. Wa yuqalu situna sanatan min imamin jairin ashlahu min lailatin wahidatin bila sulthanin” (Kitab Siyasah Syar’iyah hal. 161 oleh Ibn Taimiyah). Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan untuk beramar ma’ruf dan bernahi munkar. Hal ini tidak akan sempurna kecuali dengan kekuatan dan kepemimpinan. Demikianlah seluruh apa yang diwajibkan oleh SWT spt jihad, menegakkan keadilan, menunaikan ibadah haji, al-juma’, ibadah ritul, menolong orang yang teraniaya, tidak akan sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kepemimpinan, karean itu tdp riwayat : Sesungguhnya pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi’’. Dan ada riwayat lain mengatakan : ‘’ 60 tahun dibawah pemimpim yang dzalim jauh lebih baik dari pada 1 hari tanpa pemimpin”.





II. Mengapa individu tidak mampu mendirikan Khilafah tanpa jama’ah ?
Kewajiban ini tak mungkin dapat dipenuhi hanya oleh individu saja karena aktivitas ini berkaitan dengan mengubah hukum dan aturan. Dan Allah SWT telah membuat takhsis atau pengkhususan antara amal jama’i dan amal individu. Amal individu untuk individu, jama’ah untuk jama’ah, karena dengan sendiri apabila tak mungkin mendirikan Khilafah, maka amal ini berubah statusnya menjadi amal jama’i (berdasarkan kaidah Ma la yatimul wajib fahuwa wajib). Dan Rasulullah yang menjadi suri tauladan bagi kita (Qs. 33 : 22), dan beliaupun tidak sendirian dalam mengubah masyarakat. Beliau berda’wah bersama para sahabatnya, sebagai jama’ah. Syaikh Taqiudin An-Nabhani menjelaskan maksud ayat “Maka sampaikanlah dengan terang-terangan apa yang telah sampai padamu…”, Allah memerintahkan jama’ah untuk berda’wah secara terbuka. Setelah ayat ini turun, para sahabat berkumpul di ka’bah secara terorganisasi, inilah saat da’wah terbuka.

2.1. Membantah pendapat kelompok yang mengharamkan berjama’ah
Ada segolongan umat yang berpendapat haramnya adanya jama’ah-jama’ah. Pemahaman ini bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur’an yang justru mewajibkan keberadaannya.
Mereka memakai argumentasi bahwa “berkelompok menyebabkan perpecahan”. Padahal Allah telah memerintahkan adanya jama’ah, dan perintah ini berhubungan dengan perintah yang lain agar uamt Islam bersatu. Meski sekarang kondisinya tidak demikian namun hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk menghapus perintah Allah untuk mengadakan jama’ah tersebut. Islam tidak dihukumi dengan kondisi umat. Keberadaan partai tidak dapat disalahkan karena kesalahan\penyimpangan anggotanya, tapi dinilai dari pemikiran dan metodenya apakah berasal dari Islam atau bukan ?.


2.2. Mengapa boleh ada lebih dari satu jama’ah ?
Perintah mendirikan jama’ah tidak dibatasi jumlahnya. Pertama, ayat : “Hendaknya ada diantara kamu jama’ah … “ tidak disebut jumlah, kata “umat” berbentuk nakirah atau umum. Jadi boleh ada jama’ah selama dengannya kewajiban terpenuhi. Tapi bila satu jama’ah berhasil memenuhinya maka tak boleh membentuk jama’ah lagi, sebagai contoh sekelompok orang diberi salam, seorang saja yang menyahut maka yang lain gugur kewajibannya. Jika memang ayat ini hanya untuk satu jama’ah ( sebagaimana dituduhkan oleh sebagian orang yang memiliki ghirah ke-Islaman ) tentunya bentuk kalimatnya tunggal atau mufrod seperti berikut : “Hendaknya ada satu umat (al-umat) diantaramu …” tapi faktanya ayat ini berbentuk jamak dan inilah bukti bolehnya keberadaan jama’ah-jama’ah sebagaimana dimaksud.

2.3. Perbedaan Firqah dan Jama’ah
 Adanya juga yang berpendapat haramnya haramnya memecah belah umat dengan bergolong-golongan, dalil mereka gunakan adalah firman Allah SWT : “Mereka yang memecah belah agamanya menjadi bergolong-golongan, setiap golongan bangga akan kelompoknya” (Qs. 30:31-32). Hadits Rasulallah SAW : “yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan/firqah, Kristen menjadi 72 golongan, dan umat akan terpecah menjai 73 golongan” (Abu Daud, Tirmidzi, Al-Hakim, Ahmad). Imam Tirmidzi menyatakan : “Hadits ini hasan sahih”,.
 Hadits diatas juga diriwayatkan imam Abu Daud (2/503), Ahmad ( 4/102) Al-Hakim (1/128) dan lain-lain, sbb "dari 'Auf bin Malik: Akan berpecah Yahudi kepada 71 firqah, satu firqah ke syurga dan 70 ke neraka. Akan berpecah Nasrani kepada 72 firqah, 71 firqah ke syurga dan satu ke syurga. Demi diri Muhammad yang berada di tanganNya, pasti akan berpecah ummatku kepada 73 firqah hanya satu ke syurga dan 72 ke neraka. Ditanyakan: Siapa mereka wahai Rasulullah? Baginda bersabda: Al-Jamaah." . Diriwayat yang lain : "Bersabda Rasulullah s.a.w: Sesungguhnya mereka yang sebelum kamu dari kalangan Ahli al-Kitab berpecah kepada 72 pecahan. Sesungguhnya millah (ummat ini) akan berpecah kepada 73 (yang mana) 72 ke neraka dan satu ke syurga iaitu al-Jamaah." Diriwayat yang lain : "Dari Abdullah bin 'Am r: Akan berpecah ummatku kepada 73 pecahan semuanya ke neraka kecuali millah yang satu: Iaitu apa yang aku dan para sahabat (sesiapa yang seperti aku dan para sahabatku." Dan diriawayat yang lain : "(Yang ke syurga) ialah al-Jamaah. tangan Allah atas al-Jamaah." Dalam riwayat lain dari jalan Anas Bin Malik : “Semuanya dineraka kecuali yang mengikutiku dan sahabatku”..
 Akan tetapi ada beberapa ulama seperti Imam Syaukani dan Al-Kausari yang mengkritik hadits ini dengan menyatakannya sebagai hadis dhaif, bahkan Ibnu Hazm berkata hadis ini palsu.
Sedang Menurut ta'rif (istilah) secara ilmiah, maka pengertian jamaah menurut para Ulama berkisar berdasarkan hadis-hadis atas mencakup enam makna (nama) :
1. Golongan yang besar/ramai (السواد الاعظم) dari kalangan umat Islam.
2. Jamaah ulama yang mujtahid.
3. Jamaah yang terdiri dari para Sahabat secara khusus.
4. Jamaah umat Islam yang bersatu atas satu matlamat.
5. Jamaah muslimin yang bersatu di bawah satu amir.
6. Jamaah yang mengikuti kebenaran termasuklah semua para ahlinya.
Termasuk dalam pengertian al-jamaah adalah mereka yang terdiri dari kalangan para sahabat dan siapa sahaja yang mengikuti sunnah Nabi s.a.w dan atsar para sahabat, khususnya sunnah Nabi SAW dalam berdakwah, sebagaimana yang dijelaskan di dalam hadith : "Hendaklah kemu kembali (ittiba') kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk." (HR. Al-Hakim dan At-Tirmidzi)
 Penting bagi kita memahami hadis ini sesuai dengan konteksnya. “ Dengan pertolongan Allah” arti atau maksud dari hadits ini ditinjau dari sebab turunnya, sehingga pandangan kita terhadapnya menjadi jelas. Rasulullah menerangkan umat Kristen dan Yahudi terpecah menjadi beberapa sekte, dan umatnya menjadi 73 sekte, seluruhnya dineraka kecuali yang mengikuti jalannya dan para sahabatnya. Penyebutan terpecahnya umat Islam setelah yahudi dan nasrani berarti menunjukkan hukuman atas perbuatan mereka. Pertanyaan dimanakah perbuatan yahudi dan nasrani yang menyebabkan mereka disebut firqah. Al-Qur’an pun memerintahkan kita untuk tidak berpecah belah sebagaimana orang-orang yahudi dan nasrani, yang disebutkan di beberapa tempat dalam Al Qur’an :
”Dan kami memberi Musa kitab dan diikuti para utusan . dan kami memberi Isa, anak Maryam, tanda yang dan Kami kuatkan dia dengan Rahul Qudus. Apakah ketika kami mengutus Rasul dengan syariat yang tidak kau sukai, kau berbalik dengan sombong, mengatakan sebagai pembohong dan membunuh yang lain”. (Qs. 2:87).
“Dan kami beri Isa ,anak Maryam, tanda yang nyata, tapi mereka ingkar, ada yang percaya dan ada yang tidak”.(Qs. 2:253)
“Mereka tetap ingkar sampai datang pengetahuan …”(Qs. 3:19)  Mereka ingkar pada pada hari akhir dan hukuman bagi mereka adalah siksa yang pedih di neraka.
Firman Allah SWT : “Dan mereka berkata, kami tidak disiksa dineraka kecuali beberapa hari. Katakan apakah mereka punya perjanjian dengan Allah …”(Qs. 2:80). Mereka berpecah-belah karena saling mengkafirkan.
Firman Allah SWT : “Dan Yahudi mengatakan orang kristen itu tidak punya satu pegangan, dan orang-orang Nasrani berkata : orang-orang tidak mempunyai suatu pegangan, padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yagn tidak mengetahui” (Qs. 2:113).
Setelah ini kita tahu bahwa ingkar\kufur pada masalah yang mendasar. Mengingkari Rasul Dan hari kiamat (Al-An’am 29), Malaikat, Keesaan Allah, surga dan neraka, dsb. Karenanya Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk tidak berpecah belah seperti mereka. Jadi pengingkaran yang dimaksud adalah pada hal-hal yang mendasar atau fundamental dalam agama. Untuk menerangkan hal ini lebih lanjut, tafsir ayat ini akan memperjelas : “Dan berpegang teguhlah pada tali Allah jangan berpecah belah”.
Allah memerintahkan setiap muslim untuk berpegang teguh pada “tali Allah”
Ibnu Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Abu Said Al Khudri mengatakan yang dimaksud adalah Al Qur’an. Ibnu Al Mubarak mengatakannya sebagai jamaah.
Sedang “Jangan berpecah belah”, Imam At Tabari mengatakan : “ Dan jangan mengingkari agama Allah dan harus mematuhi Nya dan utusanNya”.
 Ibnu Katsir : “Dia memerintahkan bereada dalam jama’ah dan tidak berpecah belah”.
 Imam Al Qurtubi mengatakan : “Jangan berpecah belah seperti orang Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka”.
Maka beda pendapat yang dilarang bagi orang muslim adalah pada pokok, bukan pada masalah furu’, karena beberapa hal :
1. Muslim tidak boleh berbeda pendapat dalam masalah-masalah pokok seperti yang disebutkan ayat-ayat diatas (yaitu yang ditetapkan oleh dalil-dalil qoth’I seperti dalil dari Al-Qur’an dan hadis mutawatir).
2. Sunnah Rosulullah membolehkan perbedaan dalam furu’iyah/cabang
3. Perbedaan pada masa sahabat juga dalam masalah furu’ dan tak dihukum atas hal ini waktu itu.
4. Para tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan generasi yang mengikutinya menerima perbedaan furu’ tetapi tidak dalam masalah pokok.
5. Kesimpulannya dari bukti-bukti di atas, Hadits itu ditujukan untuk sekte/firqah bukan untuk jama’ah, jama’ah berbeda pendapat pada masalah yang mubah, sedang firqah pada masalah-masalah fundamental yang dilarang.

Kesimpulan :
 harus ada jama’ah untuk memenuhi seruan itu/fardu kifayah
 kata umah dalam ayat ini berarti jama’ah
 al-khair bermakna Al Islam
 Jama’ah tersebut puya tugas tugas tertentu :
1. mengajak pada Islam, mengajak pada ma’ruf , mencegah yang mungkar.
2. berusaha mendirikan Khilafah (saat ini)
3. kewajiban mendirikan Khilafah bagi setiap muslim dan merupakan amal jama’i.
4. pengharaman berjama’ah-jama’ah bertentangan dengan Qs 3:104
5. Diijinkan keberadaan lebih dari satu jama’ah.
6. Ada perbedaan mendasar antara firqah dan jama’ah
Partai yang dimaksud Qs. 3:104 mempunyai beberapa ciri :
a. Memiliki amir yang dipatuhi selama sesuai dengan Al Quran dan Sunnah, Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safat, tunjuklah amir satu diantaramu” (Muslim).
b. Harus berdasarkan aqidah Islam (Qs. 3:85)
c. Terikat dengan cara-cara Al-Qur’an dalam menghadapi pemikiran-pemikiran kufur yang ada.
d. Jama’ah dakwah harus menetukan tujuan serta hukum syara’ yang berkenaan dengan aktivitas jama’ah secara rinci, dengan memperjelas tujuan dan target partai.
e- Jama’ah harus menentukan pemikiran dan perasaan yang digunakan untuk membangun umat, serta hukum syara’ yang dipakai untuk membangun sebuah negara.
f- Tujuan partai adalah melanjutkan/mewujudkan kehidupan Islam, bukan mengangkat menteri, anggota parlemen, apalagi mecari kesejahteraan moral, atau tujuan spiritual. Kehidupan Islam akan berlangsung jika ada yang bertanggung jawab terhadap penerapan syari’at yaitu Khilafah, seperti kaidah ushul : “Sesuatu yang mengantarkan pada kewajiban hukumnya wajib”. Penerapan syari’ah harus meliputi seluruh bidang kehidupan adalah sesuatu yang wajib, dan Khilafah adalah satu-satunya institusi yang absah (menurut syara’) untuk mewujudkannya dan wajib bagi kita mewujudkan dan mengusahakan berdirinya institusi khilafah.
g- Aktivitas jama’ah adalah membangun umat dan negara yaitu dengan melangsungkan kembali kehidupan Islam, dengan mengikuti metode Rasul SAW di Mekah sebelum beliau membangun negara di Madinah. Aktivitas itu meliputi :
a. Mambangun tubuh jama’ah dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang ditabanni oleh partai.
b. Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang ditabani oleh partai sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan penerapan syariat islam itu harus dalam wadah daulah Islamiyah atau Khilafah.
c. Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam .
d. Melakukan perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang dzolim.
h. Tujuan utama partai adalah keridlaan Allah (Qs. 59:8)
i. Tidak perlu ijin/aturan tertentu kecuali aturan dari Allah.
i. Ikatan diantara anggota harus ikatan aqidah islam dan ideologi dan bukan nasionalisme, spiritualisme/materialisme. Nabi SAW, bersabda, “Tak ada perbedaan diantara orang arab dan non arab kecuali ketaqwaannya” (Muslim). Dalam Qs. 3 : 104 menekankan bahwa umat disini haruslah berbentuk jama’ah atau partai politik, atau politik dalam Islam berarti mengatur/mengurus urusan umat berasaskan Islam, yang sangat jauh berbeda dengan politik dalam pengertian barat yaitu seni pragmatis, berada dalam situasi berasaskan realitas sehingga harus realistis, hingga mentolelir kebohongan, kecurangan demi kepentingan kelompok yang sesaat, yang kesemuanya bertolak belakang dengan makna politik Islam.

Dalam Qamus Al-Muhit adalah As-Siyasah ( politik ) berasal dari kata : Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Qola Al-Jauhari : Sustu Ar-Raiyata Siyasatan ay Amartuhu wa nahaituhu ay ra’atu syaia alaihi bi awamiri wa nawahii (Al-Jauhari berkata : Sustu Ar-Raiyata Siyasatan adalah aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siayasah : Al-Qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (Siyasah adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab – Ibn Mandzur). Walhasil, Politik disini bermakna mengatur urusan umat lokal maupun internasional dengan menggunakan aturan tertentu.
Dalil dari As-Sunnah bahwa politik berarti mengatur urusan umat dan melindungi kepentingannya adalah wajib bagi tiap muslim, termaktub dalam sabda Rasul : “Setiap kamu adalah penjaga, dan kalian akan ditanya tentang yang kamu jaga” (HR-Muslim), sabda beliau lagi : “ Akan ada segolongan umatku yang selalu mengingatkan kebaikan dan mereka pasti akan menang, musuh-musuh mereka takkan dapat mengalahkan mereka” (HR-Ahmad), “Barang siapa yang tidak peduli pada urusan kaum muslimin maka bukan termasuk golongan mereka ”(HR-Muslim), “Jihad terbaik adalah menasehati penguasa yang zolim” (HR Muslim & Ahmad), “ Islam adalah nasehat, kami bertanya : Bagi siapa ? ya, Rasulullah jawabnya : Bagi Allah, AkitabNya, UtusanNya, dan para pemimpin diantaramu” (HR-Muslim, Abu Daud, Tirmizi), “Para Nabi memerintah diantara bani Israil, jika mereka mati, akan di utus penggantinya, tapi tak ada Nabi setelahku tapi akan ada banyak Khalifah” (HR- Bukhori-Muslim).
Ketentuan di atas berlaku untuk setiap muslim dan bukan hanya untuk partai. Dimana ciri dari sebuah partai haruslah melakukan aktifitas politik seperti disebutkan oleh nash-nash diatas. Partai itu tugasnya adalah “mengajak umat melakukan perintah Allah dan menghindari larangan-Nya”. Dalam hal ini tugas sebuah partai politik Islam, adalah bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam yaitu mengembalikan penerapan seluruh Hukum Allah SWT mulai Aqidah, Ibadah, Akhlaq, Muamalah dll dalam kehidupan Umat Islam dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah yang hanya bisa diwujudkan dengan aktifitas politik yang sesuai dengan tuntunan syara’ (yaitu Allah SWT).

Wahai kaum muslimin, Rasulullah mengiformasikan bahwa akan selalu ada jama’ah diantara kita yang demi Islam sebagaimana beliau dan para sahabatnya berjuang menegakkan Khilafah Islam di Madinah, sehingga Khulafa’ur Rasidin, Umayah Abasiah, Utsmani dan Mustafa Kemal A. menghancurkannya ditahun 1924.

Wahai kaum Muslimin, Rasulullah dan para sahabatnya menegakan Khilafah dan diteruskan hingga di hancurkan musuh-musuh Islam. Dan kehormatan bagi kaum muslimin saat ini untuk bersama-sama menegakkan Khilafah untuk memenuhi tugas Allah yang dulu diberikan pada Rasulullah dan para sahabatnya. Allah pasti memberikan kemenangan bagi kita, insya Allah.